Menyemai Kepercayaan di Atas Puing : Jalan Sunyi dari Ekonomi Media yang Rusak

Saya sadar benar, bahwa di era krisis seperti ini, media butuh hidup dalam "survival mode". Tapi hendaknya solusi-solusi jangka pendek ini tidak mengganggu, atau bahkan menutup peluang-peluang media yang sedang bertumbuh membangun akar kepercayaannya.
Ini membutuhkan "social wisdom" tersendiri dari para pengelola media, agar solusi jangka panjang tidak menjadi semacam "fast income trap". Jebakan pendapatan cepat yang menutup ruang pengembangan ekosistem media di masa depan.
Ini karena ekosistem yang saya paparkan, membutuhkan pasokan "darah" dan "udara" dari denyut kehidupan masyarakat yang otentik, dinamis, dan percaya. Bahan mentah ini yang menjadikan insight berkualitas dari keseluruhan proses kolaborasi manusia dan mesin di dalamnya.
Menjadi Tempat Berteduh di Tengah Dunia yang Terbakar
Saya menulis ini bukan untuk menciptakan ilusi heroik. Saya tahu betapa kerasnya medan ini. Media sedang berdarah-darah. Sistem sedang tidak adil. Platform terlalu kuat. Tapi saya percaya: selalu ada ruang untuk menanam.
Trust bukanlah sumber daya yang bisa diekstraksi. Ia adalah spiritus vitalis, napas yang membuat media tetap hidup, bahkan ketika semua pendapatan lenyap.
Selama kita masih punya rasa, selama kita masih percaya pada kehadiran, selama kita masih mau mendengarkan, maka kita masih bisa menumbuhkan media yang berarti.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, dari pohon-pohon trust yang kita tanam hari ini, akan tumbuh hutan kecil. Tempat orang-orang datang bukan untuk mencari berita, tapi untuk mencari arah. Dan itu, menurut saya, adalah peran tertinggi dari sebuah media: bukan sekadar menyampaikan apa yang terjadi, tapi menjadi tempat orang merasa tidak sendirian. “Media hidup bukan karena impresi, tapi karena resonansi.” (*)