BERITABETA.COM, Ambon – Sepanjang tahun 2021 arah demokrasi Indonesia dinilai masih dalam keadaan on the track alias baik baik saja. Sebab, dalam kepentingan bangsa dan negara, masyarakat masih mengedepankan kebersamaan dan toleransi.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Data Riset (Pusdari) Cecep Sopandi saat dimintai pendapatnya oleh beritabeta.com melalui telepon seluler, Senin (03/01/2022), seputar pengamatannya mengenai perkembangan demokrasi Indonesia.

Menurut Cecep, kondisi demokrasi Indonesia masih dalam posisi [on the track] itu karena kultur masyarakat tetap mengedepankan kebersamaan dan toleransi.

“Jika berhubungan dengan bangsa dan negara, masyarakat masih menghargai dan mengedepankan kebersamaan dan toleransi,” ujarnya.

Dia mengakui, saat Pilpres 2019 lalu ada gesekan hingga terjadinya polarsasi di tengah masyarakat. Namun, kondisi tersebut tidak berlangsung lama.

Alasannya, karena kultur masyarakat Indonesia masih mengedepankan kebersamaan dan toleransi.

Bila ada konflik dalam proses demokrasi semisal pemilu legislative, pilpres maupun pilkada, menurut Cecep, hal tersebut merupakan sebuah dinamika.

Apa yang mesti dilakukan oleh para elite bangsa ini agar demokrasi Indonesia tetap berjalan pada relnya?

Menurut Cecep, para elite parpol termasuk yang punya kepentingan langsung dengan hajatan lima tahunan tersebut, harus senantiasa mengedepankan rasionalitas dan tujuan, dan bukan sebaliknya memaknai demokrasi sekadar proses semata.

“Tak boleh mengedepankan politik identitas. Dalam pemilu legislative, pilpres maupun pilkada, para calon [kontenstan] bersama parpol pengsung dan pendukung, harus menjadikan pemilu dan pilkada itu sebagai festival gagasan dan program, bukan festival untuk menebar kebencian, hoaks dan permusuhan,” tegasnya.

Selain itu dia menyarankan masyarakat Indonesia termasuk di Maluku agar pada Pemilu dan Pilkada serentak pada 2024 nanti, hendaknya dapat memahami secara baik calon pemimpin yang akan dipilih.

“Pastikan pemimpin yang akan dipilih itu harus memberi dampak yang baik kepada masyarakat,” tukasnya.

Sebaliknya kepada calon pemimpin baik dalam konstetasi pemilu legislatif, pilpres serta pilkada srentak, harus memberi teladan yang baik kepada masyarakat yang memilihnya. Utamanya, calon pemimpin harus menghilangkan atau meniadakan politik identitas.

Lalu kepada elit dan pengurus parpol pun diharapkan agar mampun melahirkan kader yang memiliki idealisme dan ideologi dari partai itu sendiri. Bukan bekerja dan berkutat pada ranah politik transaksional.

“Kader harus benar-benar lahir dari rahim parpol itu sendiri. Edukasi politik kepada masyarakat perlu ditingkatkan secara berkesinambungan,” harapnya.

Magister Komunikasi Politik Mercu Buana ini juga menjelaskan, dalam pertarungan politik seperti momentum pemilu legislative [pileg], pilpres maupun pilkada, seyogiyanya harus dipahami oleh figure sebagai ajang untuk memberi gagasan dan program kepada publik.

Hendaknya, lanjut dia, calon dan kader parpol sedapat mungkin menghindari atau membuang politik transaksional termasuk mahar politik antara parpol pengusung/pendukung dan para kontestan.

“Sebab, praktik yang demikian hanya akan merusak kualitas demokrasi,” tandasnya.

Alasannya, pemilu legislative, pilpres maupun pilkada ini adalah momentum untuk menghasilkan produk kepemimpinan politik yang betul-betul diharapkan oleh rakyat. (BB)

 

 

Editor: Redaksi