Ala bisa karena biasa. Peribahasa usang ini dapat dipakai untuk menggambarkan kondisi transportasi laut di daerah pulau-pulau yang ada di Maluku. Banyak rentetan peristiwa kecelakaan yang terjadi. Tapi sama sekali tak ada upaya perbaikan.

Kasus hilangnya, delapan orang penumpang longboat di perairan Pulau Teor, Kabupaten Seram Bagian Timur [SBT] menambah panjang catatan buruknya pelayanan transportasi di daerah ini.

Siapa yang salah? Harusnya pertanyaan ini dapat dijadikan cambuk untuk mengoreksi apa yang menjadi kelemahan transportasi di daerah ini.

Jika harus menjawab pertanyaan ini, maka laras vonis kita tentu akan mengarah ke pemerintah daerah, sebagai pihak yang punya tanggung jawab melindungi rakyatnya.

Kok bisa? Itulah faktanya. Puluhan bahkan ratusan tahun, kondisi pelayanan transportasi lokal antar pulau, sama sekali tak pernah terkoreksi dengan hadirnya kebijakan pemerintah daerah yang maksimal. Padahal banyak sudah regulasi yang ditelurkan pemerintah sebagai rambu-rambu pelaksanaan kegiatan transportasi laut.

Yang paling miris adalah upaya keselamatan penumpang. Padahal, dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 20 Tahun 2015 telah jelas ditetapkan tentang standar keselamatan pelayaran meliputi sumber daya manusia (SDM), sarana dan/ prasarana, standar operasional prosedur (SOP), lingkungan serta sanksi.

Ada pula Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, Peraturan Menteri Perhubungan Tahun 20 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.

Bahkan ada pula Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2000 tentang Kepelautan. Apakah semua ini sudah teraktualisasi dengan baik?

Musibah tenggelamnya longboat dengan 13 penumpang di perairan Pulau Teor, hingga hilangnya delapan nyawa korban, tak dapat disangkal adalah sebuah peristiwa yang mengiris kalbu.

Namanya musibah pastinya tak dapat diperidiksi,  kapan dan dimana saja bisa terjadi. Namun kelemahan dan kelalaian, harusnya menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam memperbaiki sistem transportasi yang ada.

Kita tidak perlu jauh-jauh sampai ke Kabupaten SBT. Di pelupuk mata kita saja, masih banyak kelemahan itu terlihat nyata. Sebut saja moda transportasi speedboat yang saat ini menjadi andalan di beberapa wilayah Kabupaten Maluku Tengah.

Hampir dipastikan tak ada satu pun armada speedboat yang beroperasi itu, memiliki peralatan keselamatan berupa  life jacket dan ring bouy [baju pelampung dan bantal berenang].

Padahal dua alat ini menjadi barang yang mutlak dimiliki setiap  armada transportasi baik laut, sungai dan danau. Lantas apakah ada larangan berlayar yang dikeluarkan instansi terkait terhadap operasinya armada yang tidak memiliki dua peralatan ini?

Disinilah letak kelalaian bahkan kesalahan itu. Kita belum bicara soal layak tidaknya kondisi armada dengan kapasitas muatnya.

Dari SOP yang harus dipenuhi saja, sama sekali tidak ada pengawasan. Ini artinya, peran instansi-instansi terkait dalam menata armada transportasi kecil di pulau-pulau ini belum ada.

Jika di wilayah Maluku Tengah saja, SOP ini tidak diterapkan, tentu wilayah yang jauh seperti Kabupaten SBT pun akan lebih mudah ditemukan hal serupa bahkan lebih miris pula. Di sana longboat menjadi satu-satunya armada transportasi laut yang cukup diminati masyarakat.

Selain tidak ada pengawasan yang ketat, dari sisi ongkos pun transportasi ini cukup miring. Namun, bukan berarti kondisi harus terus dibiarkan begitu saja.

Mungkin baiknya pemerintah daerah dapat membuat aturan yang mengikat pemilik aramada-armada ini. Misalnya mewajibkan para pemilik longboat atau speedboat agar memiliki  life jacket dan ring bouy sesuai dengan kapasitas jumlah penumpangnya.

Mungkin juga dapat menghadirkan instansi teknis terkait untuk melakukan sosialisasi tentang keselamatan penumpang dengan segala aspek teknisnya.

Tinggal teknisnya diatur. Kemudian ekskusinya bisa dimulai berupa pendataan armada yang rutin melayani penyebrangan antarpulau itu dan membantu para pemiliknya dengan pengadaan dua alat keselamatan ini.

Paling tidak ada upaya pemerintah untuk mengurangi mudaratnya armada laut yang cukup beresiko ini, demi kemaslahatan banyak orang di masa mendatang.

Bisa pula mewajibakn seluruh aparatur sipil negara [ASN] yang akan melakukan tugas-tugas kedinasan ke daerah pulau-pulau itu membawa serta dua alat ini sebagai upaya pencegahan dan juga sebagai upaya kampanye keselamatan kepada masyarakat luas.

Sungguh hal ini tidak menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Bisa saja peralatan-peralatan ini disiapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau Dinas Perhubungan di kabupaten.

Akan lebih baik jika ada upaya dalam mengurai semua kekuarangan ini, ketimbang akan menerima ulangan dari peristiwa-peristiwa tragis serupa (*)