Begitu Soeharto dilengserkan oleh para mahasiswa dan ditusuk dari belakang oleh para pembantu dekatnya, yang ternyata berwatak Brutus, tiba-tiba semua berubah. Seperti terjadi iklim pancaroba politik reformasi. Semua simpul terlepas, semua seperti dibebaskan, dan itulah yang diperkirakan dengan nama demokrasi.

Reformasi diucapkan di tiap bibir insan Indonesia menurut selera masing-masing. Terlihat betapa banyak “Dr Jekyll and Mr Hyde”, juga mereka yang mendapat remah-remah KKN untuk diperalat di zaman Soeharto.

Moralitas dan fatsoen atau sopan santun politik hilang tak berbekas seperti disambar kilat. Orasi-orasi gombal di zaman pemilu dijilat kembali, dan dengan rekayasa yang tidak bermoral dan tanpa sopan santun politik, semua kaidah demokrasi dijungkirbalikkan. Dan ketika titik-titik api terselubung dapat kesempatan disiram bensin dengan berbagai isu akhir-akhir ini, politikus bermoral picisan dan seperti tidak tahu abc sopan santun menggerakkan massa -dan itu boleh-boleh saja, tetapi kemudian dialihkan dan diarahkan, seolah-olah tidak dikenal adanya amendemen UUD 1945.

Orang acap kali bertanya dan mengharapkan kapan semua itu berakhir. Apakah politikus picisan yang seolah-olah tidak bermoral dan apakah negarawan-negarawan yang sok bermoral, masih mau ikut terus menipu rakyat. Itulah sebabnya Anonymous pernah menulis bahwa “Politicians are like diapers. They should both be changed frequently and for the same reason.” Memang, apa yang mau diharapkan dari moralitas politisi, kalau sewaktu bersekolah di SMA dikenal sebagai jago nyontek. Orang sering lupa bahwa nyontek adalah embrio dari KKN.

Rumah Sakit Gila

Menurut mantan Guru Besar Tamu di Fakultas Hukum Leiden, Belanda dan Universitas Katholik Leuven, Belgia, ini bilamana melihat situasi dan kondisi Indonesia di masa kini, tidaklah berkelebihan kalau dikatakan -tanpa menjadi kasar dan tidak bermaksud melecehkan-, bahwa negara kita ini ibarat “Rumah Sakit Gila” yang dihuni sebagian orang yang sudah “gila” (gila kekuasaan, KKN, pangkat, dan jabatan). Sebagian penghuni sudah setengah “gila” karena keinginan, ambisi yang ambisius tidak tercapai sehingga berperilaku dan berpikir yang tidak lagi rasional.

Mantan Ketua Asosiasi Kriminologi Indonesia mengatakan ada pula penghuni yang mengalami “depresi” dan sudah pada tahap fatalistik, karena bingung melihat gejolaknya kejahatan yang sadistik, KKN ibarat kanker yang tengah merajalela dengan ganas.

Sebagian penghuni lain seperti sudah kehilangan akal, karena melihat orang-orang yang begitu tekun menjalankan ibadah agamanya, tetapi kalau diamati dengan cermat seperti orang-orang ateis yang tidak berperikemanusiaan, yang amoral, tetapi justru mereka berdalih sebagai penyelamat dunia ini.

Yang paling besar jumlahnya ingin berteriak tetapi apa daya seperti tidak berkekuatan karena perut mereka terus keroncongan. Tetapi, mereka yang di akar rumput ini “have nothing to loose” kalau dihasut untuk menjadi radikal dan bersedia mati untuk suatu kausa yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Robert M Pirsing Zen pernah menulis, “When people are fanatically dedicated to political or religious faiths or any other kinds of dogmas or goals, it’s always because these dogmas or goals are in doubt”.

“Rumah Sakit Gila” itu terus diawasi oleh kekuatan besar yang telanjang. Dan Sang Raja, seperti dituturkan di dunia Barat, berkuda keliling tanpa busana, dan semua kawula tunduk dengan perasaan malu dan gemas. Raja mengira mereka menghormatinya, padahal mereka tunduk karena tidak sanggup melihat ketelanjangannya.