Prof. J.E. Sahetapy, Penjaga Nurani Hukum dan Politik
Sejak memasuki Orde Baru, masyarakat Indonesia digiring ke suatu subkultur tertentu dan dibina untuk menjadi manusia munafik, tetapi ganas dalam berambisi atau sangat ambisius. Manusia Indonesia menjadi manusia yang ingin cepat kaya tanpa bekerja keras. Rasa malunya seperti sudah dimatikan. Orang dilatih untuk selain menjadi panutan dan tidak boleh berpikiran lain. Otak mereka dicuci secara halus. Kultur retorika yang kosong dan wacana pagi tempe dan sore tahu, tidak ada yang berani menegur, sebab bersikap kritis dianggap pembangkangan yang harus di-Siberia-kan atau di-Pulau Buru-kan.
Petualang-petualang politik dengan dana yang tidak jelas asal-usulnya, berseliweran di Senayan dan banyak yang berdasi KKN tanpa rasa malu. Politikus muda yang dulu di SMA jago nyontek, kini bicara ibarat dialah malaikat yang turun dari surga. Mereka yang dulu menentang status seks tertentu, kini berbusung dada menghendaki agar perempuan diikutsertakan di gelanggang kemunafikan.
Pada mulanya mereka menentang berdasarkan dogma. Tidaklah mengherankan kalau pada permulaan reformasi manusia-manusia yang tidak berhati nurani itu bisa merekayasa, agar pahlawan peringkat di bawah bisa diusung ke atas, dan kemudian menjadi Sang Raja. Tetapi dasar serigala berbulu domba, manusia-manusia berwatak Brutus itu dengan penampilan Pontius Pilatus, menjatuhkan Rajanya sendiri.
Dan mereka itu dengan sadar atau pura-pura tidak mengerti, bahwa amendemen konstitusi telah mencabut gigi-gigi yang ingin menghadirkan Sidang Istimewa MPR untuk melicinkan dan menyukseskan ambisi-ambisi gelap dengan berpencak silat. Ini tampak ketika orang ribut bertalian dengan kenaikan dan kesulitan hajat hidup orang banyak. Dan Raja, seperti atau seolah-olah, tidak atau kurang berempati, apakah mendengar atau tidak jeritan, tangis dan kemarahan rakyat dan para calon intelektual yang bertindak acapkali dengan kurang sopan.
Cuci Tangan
Ketua Umum Forum Pengkajian HAM dan Demokrasi Indonesia, ini mengemukakan kekurangdengaran atau “telmi” mungkin seperti kata orang Belanda, yaitu: “te diep in het glaasje gekeken”, alias minum anggur terlalu banyak pada pesta akhir tahun. Retorika dan realisme tidak lagi bersalaman dan berpelukan, sebab gelombang berpikiran antara Senayan dan Medan Merdeka seperti sudah mengalami “kortsluiting”. Dan seperti Pontius Pilatus, banyak yang main cuci tangan agar bersih di mata rakyat yang tidak dapat lagi dikibulin.