Kesederhanaan ini tidak berobah saat ia menjadi anggota DPR dari PDIP pada zaman reformasi yang masih kental praktek korupsi ini. Saat beberapa rekannya, setelah menjadi anggota DPR, tiba-tiba menjadi mewah dengan mobil-mobil mewah. Sahetapy justru masih kerap jalan kaki dari tempat tinggalnya, sekitar satu setengah kilometer dari Gedung DPR.

Waktu itu, ia memang tinggal di tempat kerabatnya, dan mengaku tidak ada taksi yang lewat di lingkungan tersebut. Itu membuatnya harus jalan sekitar lima ratus meter sebelum bisa menemukan taksi. Tapi, karena jarak ke Gedung DPR makin dekat, tidak ada taksi yang bersedia mengantarnya. Jadi, ya, terpaksalah berayun tungkai.

Jelas saja, berjalan kaki di Jakarta yang terik membuatnya berkeringat. Karena itu setiap hari ia memakai kaos, baru setelah sampai di ruang kerjanya ganti baju yang dibawanya. Ia juga tergolong orang Indonesia yang tidak suka memakai jas. Ia pun tidak termasuk anggota DPR yang memikirkan soal tunjangan mobil, sehingga dari semua perilaku dan sikapnya, banyak pihak menjulukinya penjaga nurani hukum dan politik.

Bapak tiga anak dan satu anak angkat ini memang seorang tokoh yang masih memiliki integritas nurani dalam penegakan hukum dan kebenaran. Hal ini terlihat dari sikapnya sehari-hari. Sikap nurani yang kritis itu tercermin juga ketika ia mengajukan pertanyaan kepada para calon hakim agung di DPR. Ia bertanya kepada Benjamin Mangkudilaga, seorang yang cukup populer sebagai hakim yang jujur dan sederhana, tentang hadiah rumah yang diterima Benjamin. Tidakkah itu menimbulkan konflik kepentingan? ”

Profesor Sahetapy, yang sudah 40 tahun menjadi dosen di Fakultas Hukum Unair, tampaknya memang tidak bisa tedeng aling-aling. Seorang calon hakim dari Gorontalo mengaku sebagai salah seorang muridnya. Entah apa maksud sang calon, yang kemudian diterimanya adalah semprotan kata-kata yang keras: “Ya, memang. Tapi saya malu punya murid seperti Anda, karena menjawab pertanyaan apakah pernah masuk parpol, tidak mengaku. Ternyata dalam CV, Anda pernah aktif di Golkar.” Itulah Sahetapy yang tidak pernah ragu menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Fatsoen Politik

Bicara soal moral dan sopan santun politik, ia mengutip Charles Krauthammer: “Alliance with hell is justified as long as it is temporary.” Diuraikannya, pada zaman otokratisnya Soeharto, yang tampaknya semua serba teratur dan seolah-olah ada kedamaian, politisi dan birokrat sesungguhnya hanyalah pion-pion belaka, yang dikendalikan melalui ancaman terselubung. Dengan perkataan lain, politisi seperti memiliki moral dan fatsoen politik. Semua yang dikerjakan Soeharto disambut dengan gembira dan sukacita, seperti tidak ada reserve terhadap setiap sabda pemimpin yang selalu tersenyum itu.

Anggota Komisi II (Hukum dan Dalam Negeri) dari Fraksi PDIP DPR RI, ini menggarisbawahi apa yang dikatakan Stalin: “Those who cast the votes decide nothing. Those who count the votes decide everything.” Tetapi, katanya, hukum alam memutuskan tidak ada yang abadi.