Sehatnya Demokrasi Elektoral Tergantung Aktivitas Semua Lembaga - Kelompok Masyarakat
BERITABETA.COM, Ambon - Kewajiban Negara setiap tahun membiayai partai politik (parpol), dan menyediakan fasilitas untuk membina iklim serta kehidupan politik yang memadai. Termasuk memberi insentif pembinaan parpol. Tujuannya untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas di Indonesia.
Akademisi atau Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pattimura Ambon Dr. Amir Kotarumalos berpendapat, pemerintah sebagai perpanjangan tangan Negara, memiliki kewajiban membiayai insentif parpol, tetapi sebaliknya tidak serta merta punya hak untuk mencampuri kehidupan parpol.
“Jadi, pemerintah hanya melaksanakan fungsi pembinaan. Kehidupan parpol itu harus terselenggara dan terjamin dengan baik dalam memenuhi fungs-fungsi social politik serta fungsi kepartaiannya,”kata Amir Kotarumalos saat diminta pendapatnya oleh beritabeta.com seputar pembiayaan parpol dan edukasi politik masyarakat Jumat, (16/12/2022).
Dalam tanda petik, kata Amir, praktik politik tersebut khususnya terhadap parpol peserta pemilu berbadan yang telah memiliki badan hukum yang telah ditetapkan oleh Kemenkum HAM.
Ia menegaskan, sehatnya demokrasi electoral dapat terwujud, jika berbagai macam komponen dan proponen pemilu melaksanakan fungsi secara baik dan benar.
Maksud saya, lanjut dia, komponen tersebut seperti KPU dan Bawaslu pada semua tingkatan, dan peserta pemilu.
Sedangkan Proponen termasuk masyarakat yang berpartisipasi mendukung sejak awal hingga akhir penyelenggaraan pemilu.
Ia menegaskan, sehatnya sebuah demokrasi electoral itu tergantung dari aktivitas semua lembaga dan kelompok masyarakat yang meliputi komponen maupun proponen, mulai dari awal hingga akhir termasuk bagaimana masyarakat proaktif dalam mencatat atau melapor partisipasi politiknya.
Kemudian, penyelenggara mencatat, memvoting melalui Sidalih [Sistem Informasi Data Pemilih], dan sebagainya itu untuk memberikan kepastian siapa, dimana, dan identitas apa yang menjamin untuk dia dipersyaratkan menjadi calon pemilih, selanjutnya diawasi oleh Bawaslu.
“Jadi, dalam prosesnya dua lembaga [KPU dan Bawaslu] ini sudah harus bekerja dari awal,”imbuhnya.
Terhadap parpol, Amir cenderung soal verfikasi administrasi, verifikasi factual yang dapat ditunjukkan atau sesuai persyaratan berdasarkan ketentuan yang ada.
Menurut dia, pembuktian proses tersebut menjadi penentuan terhadap landasan kualitas demokrasi electoral, yang seyogiyanya dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal.
Pelaksanaan Pemilu yang demokratis, menurut Amir, bukan hanya soal komponen dan proponen dalam menjalankan fungsi saja, tetapi sangat penting adalah perangkat aturan harus disiapkan.
Perangkat aturan ini, tambah Amir, terkait dengan electoral law dan electoral proses. Hukum dasarnya adalah UU Pemilu dan atau aturan prosesnya yakni PKPU dan Perbawaslu.
Ia berujar, bila berdasarkan logika, pemilu yang sebenarnya itu dalam proses melahirkan para pemimpin yang berkualitas, maka aturan mainnya harus dibuat semudah mungkin untuk orang-orang yang berkualitas.
Tapi, orang-orang berkualitas ini tidak memiliki uang dan sebagainya termasuk kekuasaan, sehingga mereka tidak mudah mendapat kesempatan untuk berkontestasi. Jalan masuk mereka dibatasi.
“Maksud saya, pemilu itu bukan soal hasil, tapi karena proses. Nah semua prosesnya harus dilakukan dan dikawal dengan baik untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas. Jika pemilu berkualitas, maka demokrasi electoral kita sudah dapat berdiri dan berlari,”timpalnya.
Soal peran parpol sendiri, dari pengamatannya sejauh ini, khusus partai besar sudah mulai melaksanakan fungsi dengan baik termasuk memberi pendidikan politik termasuk mendidik kader dan sebagainya.
Tapi ia menggarisbawahi, pada umumnya parpol di Indonesia termasuk Maluku, masih merekrut kader yang disiapkan untuk berkontestasi pada pemilu atau pilkada, tidak berdasarkan gerakan massif dari bawah untuk membentuk [kader] mulai dari anak-anak. Prosesnya selama ini terkesan instan.
Menurut dia, hal itu berbeda dengan pelajar tingkat SMP, SMA dan Mahasiswa hingga organisasi kepemudaan yang sudah mampu menyiapkan kader dari bawah dalam rangka menyiakan kepemimpinan bangsa yang dimulai dari tingkat bawah.
“Pertanyaannya, adakah parpol yang bermain pada level ini? kan tidak ada. Yang saya lihat sejauh ini, parpol hanya mencomot ketika kader itu jadi dan memiliki bekal kepemimpinan yang disiapkan oleh organisasi-organisasi kepemudaan saja, atau selesai sekolah langsung direkrut masuk partai. Tapi proses mempersiapkan dari tingkat bawah, hemat saya itu belum dilakukan sesuai harapan,”kriitiknya.
Maksud saya, lanjut Amir, jika parpol menyiapkan kader secara baik dengan berkaca pada negara-negara demokrasi yang telah mapan misalnya Inggris, Amerika dan Prancis, maka sepatutnya parpol di Indonesia harus melakukan perisiapan kader dari level bawah.
“Sehingga ketika pada level atas, mereka tampil cakap atau telah siap dan mampu. Di Indonesia termasuk Maluku hal ini saya belum lihat ,”paparnya.
Selain itu, jika punya bekal kepemimpinan dari organisasi kepemudaan atau kemasyarakatan yang direkrut masuk parpol dan jika tidak, maka parpol akan mengambil orang yang ‘kosong’ alias tidak punya bekal kepemimpinan.
Yang kosong inilah, Amir menyarankan, harus diisi oleh parpol. Sehingga kader punya pengetahuan konseptual politis, kemampuan observasi, punya kemampuan trraking bargaining dan sebagainya.
“Saya kira ini yang harus diisi atau disiapkan oleh parpol untuk masa-masa mendatang,”pungkasnya. (*)
Editor : Samad Vanath Sallatalohy