Mereka tertahan di pintu bandara Kairo tersebab paspornya hanya berupa secarik kertas yang disodorkan dalam kondisi lusuh dengan cap Republik Indonesia.

Misi Terancam Gagal

Salah satu petugas imigrasi, dengan pandangan menyelidik, bertanya dengan sedikit ketus, apa fungsi secarik kertas lusuh itu. Sayangnya, rentetan jawaban belum juga membuat lelaki itu merasa puas.

Secara bergantian Haji Agus Salim dan AR Baswedan menjawab interogasi itu dalam  bahasa Arab dengan fasih, bahasa yang juga menjadi bahasa nasional Mesir menggantikan bahasa koptik setelah pasukan Islam dibawah komando Amr bin Ash membebaskan negeri para Nabi ini dari jajahan Romawi.

"Are you Moslem ? ," mendadak meluncur pertanyaan keluar dari mulut petugas itu.

"Yes",  sahut mereka serempak.

"Apa anda tahu, siapa yang memenuhi Makkah di musim Haji ? " lanjut Haji Agus Salim mencairkan suasana.

Terkekeh. Wajah lelaki ini berubah drastis. Yang tadinya dingin bercampur ketus kini cerah dengan sebentuk senyum yang memperlihatkan deretan gigi - giginya.

"Well, then, ahlan wa sahlan. Welcome to Egypt, brothers" sahut lelaki berkumis tebal itu sambil melebarkan tangan memeluk mereka satu persatu.

Rupanya identitas muslim mereka lebih mujarab dari jawaban sebagai misi diplomatik dari negara yang baru merdeka di Asia Tenggara.

Pintu pembuka pengakuan kedaulatan negeri para syuhada dengan  jihad masyarakatnya selama ratusan tahun dari cengkeraman penjajah Belanda kini terbuka lebar dihadapan mereka.

Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Kisah menarik ini ditulis oleh AR Baswedan dalam bukunya memperingati 100 tahun Haji Agus Salim.

Delegasi ini diutus oleh presiden Soekarno untuk kunjungan balasan Konsul Jenderal Mesir di Bombay ( Mumbai ), Muhammad Abdul Mun'im di Jogjakarta Maret 1947, sekaligus menyerahkan surat penugasannya  sebagai Duta Besar Mesir untuk Indonesia ( waktu itu Jogja menjadi ibu kota negara ).

Wasiat penting ikut dibawa utusan Mesir ini. Sebuah pesan dari hasil keputusan sidang Dewan Liga Arab, 18 November 1946, yang memutuskan seluruh anggota Liga Arab mengakui kedaulatan sebuah negeri dengan mayoritas muslim, berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.