Tradisi Unik Hari Pasar di ‘Kota Mahal’ Saparua
BERITABETA.COM, Masohi – Legenda historis pulau ini tidak pernah dilupakan. Sempat menjadi incaran bangsa kolonial pada abad XVI. Saat Maluku menjadi pusat perhatian negara-negara barat untuk menanamkan kekuasaan dan menguasai rempah-rempah, daerah ini menjadi salah satu yang diincar.
Belanda jatuh hati dan menjadikannya sebagai pusat perdagangan cengkih. Pulau kecil bernama Saparua ini, kemudian dijuluki ‘Kota Mahal’.
Gubernur Nicolas van Saghen mendirikan sebuah benteng di atas bukit karang yang berada di tepi laut pada tahun 1691. Benteng ini dibuat karena Fort Hollandia sudah dianggap tidak layak digunakan.
Benteng tersebut itu kemudian diberi nama Duurstede yang berarti ‘kota mahal’. Karena kedudukannya sangat penting dari segi letak dan kepentingan militer serta dagang.
Sejarah panjang kekuasaan bangsa kolonial ini ikut mempengaruhi budaya warga setempat. Pulau yang berjarak sekitar 50 mil dari Ambon, ibu Kota Provinsi Maluku ini masih meninggalkan sejumlah tradisi unik. Salah satunya adalah hari pasar sebagai waktu transaksi antara warga dan pedagang.
Di Saparua, masyarakat mengenal dua hari pasar yaitu hari Rabu dan hari Sabtu. Bukan berarti selain hari Rabu dan Sabtu tidak ada aktifitas di pasar, tetapi puncak transaksi dan distribusi barang hasil-hasil bumi dilakukan di hari tersebut.
Masyarakat yang tinggal di negeri-negeri sekitar Saparua, pulau Nusalaut bahkan pulau Haruku datang melakukan transaksi jual beli di pasar tradisonal tersebut.
Semua hasil pertanian dan laut akan diperjualbelikan pada hari itu oleh pedagang dari berbagai negeri(desa) tersebut.
Aktivitas pasar pada hari pasar berlangsung cukup singkat, dimulai dari pukul 05.00 WIT sampai pukul 10.00 WIT. Pada pukul 10.00 WIT rang-orang dari pulau Nusalaut sudah harus pulang karena jika semakin siang maka cuaca di lautan akan berubah menjadi tidak bersahabat. Keberadaan hari pasar ini tidak diketahui dimulai sejak kapan.
Informasi yang dihimpun beritabeta.com menyebutkan kebiasaan atau tradisi bertransaksi di hari pasar ini konon sudah ada sejak jaman Belanda.
Ace Mailissa (50 tahun), salah seorang pedagang asal Negeri Paperu mengatakan bahwa hari pasar juga dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘pasar panas’ dan pasar dingin.
Ace yang mengaku sudah 20 tahun menjalani profesi sebagai pedangang di Pasar Saparua ini, mengaku istilah ‘pasar panas’ disematkan pada hari pasar yang bertepatan dengan event-event hari besar lainnya seperti Lebaran, Natal, atau peneguhan “orang sidi”.
“Nah hari-hari itu biasanya menjadi waktu transaksi jual beli secara besar-besaran,” ungkapnya.
Di momen seperti itu, kata Ace, ia bersama sejumlah rekannya bisa meraup keuntungan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan hari pasar biasa.
Sedangkan 'pasar dingin' hari pasar yang berlangsung di waktu-waktu tanpa adanya event hari-hari besar.
Tradisi hari pasar yang berlangsung di pulau yang luasnya 247 km2 dan terdiri dari 2 kecamatan, Saparua dan Saparua Timur itu hingga saat ini belum diketahui secara pasti sejarahnya. Namun, faktanya tradisi hari pasar sudah berlangsung cukup lama dan sering dimanfaatkan oleh warga di 16 negeri adat yang ada disana (*)
Pewarta : Edha Sanaky
Editor : Redaksi