Semua produk berita yang dihasilkan, terutama tentang wabah Covid-19 di Maluku adalah kebenaran fakta yang diperoleh jurnalis dari sumber-sumber resmi. Terlepas dari adanya dugaan manipulasi, rekayasa dan sebagainya adalah hal lain yang harus dibuktikan.

Jika tudingan itu benar. Apakah tega seorang pejabat di daerah ini berlaku nekat mengumumkan bahwa istri yang dicintanya terpapar virus mematikan itu? Ataukah seorang pejabat sekelas Menteri Perhubungan itu nekat membiarkan diri-nya divonis sebagai penderita Covid-19?

Semua tudingan itu, harus beralasan. Sebab, kaum jurnalis pun juga merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan kebanyakan orang. Jurnalis juga takut terpapar Covid-19. Namun, mereka harus bekerja agar bisa membantu banyak orang. Meskipun harus dengan menjalankan protokol kesehatan yang ditetapkan.

Jika masih saja ada budaya netizen memvonis apa yang dihasilkan jurnalis sebagai hoaks, maka itu sama halnya dengan mencoba membuat titian menuju “the death of journalism,”.

Dengan adanya kepercayaan publik, maka terciptanya peningkatan trafik visitor bagi media online (daring) yang berefek pada pendapatan bisnis. Dengan kepuasan publik maka akan tercapai target oplah yang ditetapkan setiap perusahaan surat kabar.

Jurnalis  harusnya dimaknai  sebagai pelita dalam kegelapan. Jika netizen atau warga net terus mengumbar ketidakpercayaan kepada karya-karya jurnalis, sama halnya sedang mencoba memadamkan pelita yang selama ini memberi cahaya kepada seantero dunia.

Meskipun kita percaya hanya segelintir orang saja yang melakukan itu, namun kebiasaan buruk yang diulang-ulang akan menjadi budaya yang bisa mereduksi kepercayaan publik secara luas terhadap keberadaan jurnalis.

Apa yang terjadi jika pelita padam? Publik dunia akan menerima akibat. Semua harus meraba tentang apa yang terjadi di daerah ini. Baik itu soal wabah Covid-19 maupun semua hal terkait perkembangan di daerah.   “To be trusted is a greater compliment than being loved.” — George MacDonald (***)