Apalagi dunia kekiniaan, bukan hanya di Maluku tetapi di mana saja, dia menilai, media sosial seperti menjadi ruang yang benar-benar membuat kehidupan antar sesama warga negara menjadi tersegregasi.

[Segregasi], sambungnya, bukan hanya persoalan wilayah saja, tetapi lebih parah atau bahaya lagi adalah segregasi mental dan pemikiran. Bahkan di tengah generasi saat ini dinilainya sebagai “generasi yang punya tradisi literasi sangat rendah” sehingga susah untuk tabayyun (klarifikasi).

“Kalau kita punya tradisi literasi yang bagus kita tidak akan cepat terprovokasi dengan isu-isu provokatif di Medsos. Di Medsos hari ini tanp sadar kita sering merayakan sakit hati, kebencian, dan permusuhan. Padahak di Medsos itu kita harus merayakan persahabatan, cinta dan kasih saying,”ungkapnya.

Dia menyadari, hal ini tentu menjadi tantangan terberat. Sehingga kaitannya dengan suguhan film “Beta Mau Jumpa” menurut dia, seperti cerita orang basudara atau storytelling agar didengar oleh penerima pesan tak lain orang Maluku.

Dia sangat mengapresiasi upaya para pihak yang terlibat yaitu pembuat dan para pemain filim ini sudah ikut menggagas dan merawat perdamaian Maluku.

Abidin lalu mengenang kontribusi para Ibu Gerakan Peduli Perdamaian (GPP), Jibu-jibu yang melintasi batas, Tukang Ojek, dan kalangan Anak-anak Muda pada saat itu termasuk aktivis OKP/OKPI mau bakudapa di ‘pojok-pojok’ secara diam-diam mereka semua adalah orang-orang yang ikut merawat perdamaian bagi Maluku.

“Soal konflik 1999 ini, jangan diwariskan cerita-cerita kekerasan saja, tetapi hendaknya mewarisi cerita damai,”tegasnya.

Bicara Maluku, lanjutnya, jangan hanya tentang konflik 1999. Walaupun cerita damai saat itu sangat berbahaya bagi orang-orang yang berani merambah dunia tersebut.

“Yang sering saya sampaikan gerakan itu secara sosial ekonomi sangat tidak populer. Bapak saya bilang sebenarnya anda mau cari apa disitu? Padahal gerakan ini penuh risiko. Tetapi jalan yang harus ditempuh setiap dari kita, mari bermanfaat walaupun sedikit dalam hidup untuk kehidupan ini,” tukasnya.

Dia menuturkan, perdamaian atau bakubae ini terdapat dua perdebatan. Misalnya orang seperti yang ditulis dalam buku berjudul Carita Orang Basudara, Gerry van Klinken mengatakan, masa depan perdamaian Maluku tidak dapat mengalami proses pematangan yang luar biasa tanpa keadilan [justice]. Artinya, terhadap peristiwa masa lalu harus ada proses perwujudan keadilan, pastinya ini melalui proses hukum.

Tapi, almarhum Rizal Panggabean yang juga salah satu penulis dalam buku ini mengatakan, untuk mencari siapa pelaku menghukum siapa, itu adalah pekerjaan yang terlalu rumit. Maka mulailah dari hal-hal yang kecil.

Bakudapa, bakubae adalah jalan meniti damai. Itu seperti cerita peristiwa holocoust,”tutur Abidin mengutip pendapat Rizal Panggabean.

Peristiwa Holocaust ini, lanjutnya, mengenai penyiksaan dan pembantaian terhadap sekitar enam juta orang Yahudi oleh rezim Nazi, lalu ada seseorang yang ingin mencari siapa pembunuh keluarganya, dari usia muda sampai sudah menjadi kakek ingin mencari pelaku untuk menuntut keadilan.

Ternyata, dia menyadari puluhan tahun hanya dihabiskan untuk mencari siapa pelaku atau pembunuh keluarganya. Sebaliknya orang itu sadar kalau dirinya telah menyia-nyiakan waktunya begitu panjang.