Dari sejarah ditetapkannya “May Day” berasal dari aksi buruh di Kanada pada 1872 untuk menuntut diberlakukannya delapan jam kerja sehari. Kemudian sejak 1886, 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia oleh Federation of Organized Trade and Labor Unions.

Secara umum, urgensi dari May Day diperingati sebagai momentum bagi kaum buruh untuk memperjuangkan nasibnya dengan menyuarakan aspirasi terhadap kebijakan di bidang ketenagakerjaan yang ditetapkan pemerintah.

Salah satu isu yang mencuat pada 2006 adalah rencana revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Disusul lagi pembuatan UU Cipta Kerja yang kontroversial. Gelombang protes di mana-mana menolak pemberlakuan produk atau aturan tersebut karena dinilai sangat mengabaikan kaum buruh.

Sampai-sampai pemerintah meminta pakar hukum perburuhan dari lima perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk mengkaji ulang UU, meski sampai kini tidak jelas kelanjutan dari rencana tersebut.

Sejumlah aturan dibuat erkait ketenagakerjaan. Diantaranya UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang bertujuan meningkatkan perlindungan hukum kepada pekerja. Dan terbaru adalah UU Cipta Kerja.

Standar perlindungan hukum sampai sekarang masih menjadi “tanda tanya” bagi kaum buruh, karena terjadi multiinterpretasi.

Buruh dan penganggur terus mengalami kesulitan dalam mengarungi kehidupan karena tingkat upah dan keterampilan rendah.

Penganggur masih menghadapi berbagai kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kehidupannya.

Nelayan tradisional kalah akibat perkembangan teknologi, mereka justru menjadi penonton dan bahkan korban kemajuan teknologi tersebut. Itu karena tingkat penguasaan akan cara tangkap dan lain sebagainya masih minim.

Kelompok margin di perkotaan atau urban pun mengalami kesulitan guna bertahan hidup. Bbahkan sering menjadi persoalan bagi pemerintah hingga bisa diketahui oleh dunia luar.

Refleksi peringatan Hari Buruh kali ini sebaiknya dapat jadikan sebagai momentum kebangkitan transformasi Indonesia ke arah yang lebih baik dengan pandangan yang arif dan lebih menyeluruh.

Tuntutan buruh kelihatannya perlu dipandang dan dikaji dengan kecerdasan, bukan melalui Tawara menawar di bawah meja (undertable). Jangan hanya dari sisi revisi UU Ketenagakerjaan.

Sebab diketahui bersama setiap produk UU yang dibuat dan diberlakukan di negara ini ada saja kelemahan dari sisi penerapan Ketika aturan dimaksud diberlakukan.

Regulasi yang dibuat dari sisi kepentingtan patut mengakomodir (tidak boleh mengkebiri) hak-hak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya.