Turkiye, salah satu negeri tetangga terdekat Eropa yang menjadi pusat kekuasaan Islam dan ditakuti Eropa, menjadi sasaran utama yang harus dijinakkan.

Seluruh penduduknya diinvasi. Jarum - jarum sekularisme dipaksa masuk ke dalam urat nadi anak keturunan daulah Utsmani sejak kekhalifahan terbesar itu digerogoti. Turkiye akhirnya menjadi negara mayoritas Muslim paling sekuler di muka bumi.

Segala hal tentang Islam ditanggalkan, diganti dengan ideologi sekuler. Suasana Ramadhan tak lagi di jumpai di Istanbul, tanah Konstantinopel yang ditundukkan dengan tahadjud pejuang - pejuang Al - Fatih.

Singgasana sultan terakhir disingkirkan oleh pemimpin Jön Türkler atau Turki Muda Mustafa Kemal. Gerakan ini sebelumnya sudah memberontak pada pemimpin yang sah Sultan Hamid II yang tercatat sebagai khalifah terakhir Muslimin dalam Revolusi Turki pada tahun 1908.

Maka sultan - sultan selanjutnya dalam daulah Utsmaniyah hanyalah boneka negara. Dan pada akhirnya tanggal 3 Maret 1924 sang sultan Abdul Mejid II diusir bersama sisa keluarganya dari tanah leluhurnya.

Tradisi indah Islam selama berabad digulung paham sekuler. Sebuah paham yang mementingkan urusan dunia. Hedonisme yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama menjadi impian masyarakat Turki.

Garis keturunan Sultan Muhammad Al - Fatih diusir ke pengasingan dari tanah yang dibebaskan leluhurnya dengan darah dan air mata.

Seumur hidup mereka tak pernah lagi mendengar suara camar yang bermain di selat Bosphorus. Seumur hidup mereka tak lagi menghirup udara negerinya. Seumur hidup mereka tak lagi menatap birunya langit tanah kelahirannya.

Oleh masyarakat Turki, Mustafa Kemal diberi julukan Atatürk yang berarti Bapak Bangsa pada 24 November 1934.

Sejarah keindahan Islam dikaburkan. Hampir seluruh masyarakatnya tak lagi mengenal Daulah Islam Utsmaniyah. Atatürk menjadi pahlawan sejati.

Mustafa Kemal sebagai pemimpin Turki Muda menyontohkan langsung dari kehidupan pribadinya. la dikenal sebagai pria flamboyan berperilaku hedon.

Keinginannya untuk menikahi sang putri istana ditolak mentah - mentah oleh ayah sang putri yang masih berstatus sultan Mehmed VI,  meskipun secara politik dapat menyelamatkan kekuasaan sultan yang sudah berada di bibir tebing.