Ya, ayah siapa yang mau melepaskan putrinya kepada lelaki yang menjauhkan agama dalam kehidupannya ?

"Cinta" lelaki inipun beralih kepada putri saudagar kaya dan terhormat, Latife Uşaklıgl. Muslimah yang selalu menggunakan jilbab panjang, menutup auratnya dengan rapat. Tergambar dari foto - foto awal pernikahan mereka yang dipublikasikan.

Seiring waktu, penampilan Latife mulai berubah. Jilbab sebagai lambang wanita Muslim yang dimuliakan, perlahan digantinya dengan başörtüsü ( kain kecil penutup kepala ).

Dan pada akhirnya Latife tak lagi menggunakan kain kecil itu. Ia tampil mengenakan pakaian - pakaian terbuka dalam  acara - acara kenegaraan.

Latife menjadi lokomotif wanita - wanita Turki, mendukung suaminya promosikan gaya hidup sekuler. Meniupkan isu - isu emansipasi, seakan Muslimah berhijab tak mampu melukis indahnya dunia dengan jari jemari mereka karena terbelenggu rantai besi bernama syariat.

Pengaruh Latife sangat dahsyat. Tak butuh waktu lama, para wanita Turki lalu menanggalkan jilbab - jilbab mereka.

Tak ada satupun manusia bisa meramal nasibnya. Perjalanan rumah tangga Latife diterpa tsunami setelah lima tahun bersama. Pada 5 Agustus 1925, biduk yang sedang berlayar dalam gemerlapnya dunia akhirnya kandas.

Dokumentasi berupa buku harian berjudul  "Madam Atatürk" berisi surat - surat yang ditulis Latife, disimpan oleh Yayasan Sejarah Turkiye. Oleh pihak keluarga dilarang untuk dipublikasikan.

Ibarat nasi telah menjadi bubur. Gelombang sekuler terlanjur menggulung negeri Al - Fatih. Kisah tentang kebesaran Utsmani tinggal kenangan. Segala yang berbau Islam telah dilucuti. Bila melawan nyawa menjadi taruhannya.

Tak ada lagi benteng pertahanan bagi umat Islam di sana.

Muslimah Turki tak lagi  mengerti bahwa sesungguhnya jilbab bukanlah soal selembar kain. Kain yang mampu mengobarkan dua peperangan besar demi mempertahankan kehormatan wanitanya.

Bahkan merekapun tak tahu bahwa penyebab bebasnya sebagian negeri mereka, Anatolia Barat dari cengkeraman Byzantium, berkat selembar kain itu.