BERITABETA.COM, Jakarta – Wacana perpanjangan kekuasaan yang terus digaungkan dalam berbagai bentuknya, dinilai mencerminkan ketakutan dan akal-akalan pemerintah saat ini untuk menghindari pergantian kekuasaan pada Pemilu 2024 nanti. 

“Pemilu 2024 belum dilaksanakan, pemerintah sudah mengalami post power syndrome (sindrom paska kekuasaan), sehingga tega mengkhianati amanat reformasi untuk membatasi kekuasaan,”kata Wakil Sekretaris Jenderal [Wakasekjen] DPP  Partai Demokrat Jovan Latuconsina dalam rilisnya yang diterima beritabeta.com, Minggu (13/3/2022). 

Jovan menegaskan, semua pihak  harus mengapresiasi ketegasan sikap Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh untuk menolak penundaan Pemilu dan wacana Presiden tiga periode. 

“Dua negarawan senior ini tahu betul konsekuensi dari menghianati demokrasi ini. Rakyat bisa chaos. Bukan tidak mungkin TNI Polri akan dijadikan alat untuk membungkam ketidaksetujuan rakyat,” tegas Jovan”

Namun,  kata Jovan harus diingat,  sejarah mengajarkan ketika rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti, mereka akan tiba pada satu titik saat mereka melawan balik, sehingga bisa terjadi chaos besar. 

Konsekuensi inilah yang dihindari oleh Megawati dan Surya Paloh. Para pejabat yang sekarang ini berupaya untuk utak-atik menghianati amanat reformasi, sebaiknya belajar dari Megawati dan Surya Paloh. Biaya politik dan sosialnya akan terlalu besar.

“Pergantian kekuasaan adalah sesuatu yang alamiah dalam sejarah, dan sudah dijamin dalam konstitusi kita. Jika ini diutak-atik terus dengan berbagai alasan, sejarah tahun 1998 mengajarkan pada kita bagaimana publik melakukan koreksi dengan sendirinya,” tegas Jovan. 

Jovan menanggapi pernyataan terakhir Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang kembali menggaungkan wacana perpanjangan kekuasaan, kali ini dengan alasan riset big data yang menunjukkan aspirasi publik. 

Sebelumnya, klaim beberapa Ketua Umum partai politik yang menyatakan ada aspirasi rakyat untuk menunda pemilu, dibantah oleh sejumlah survei lapangan yang dilakukan nasional. Klaim Luhut kemudian juga dibantah sejumlah pakar big data, karena jumlah datanya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan setelah diteliti ulang, hasilnya lebih banyak yang menolak ketimbang menunda pemilu.

“Pernyataan pak Luhut Panjaitan dengan dalih riset big data ini hanya akal-akalan saja,” tegas Jovan, yang pernah menjadi Komandan Batalyon Raider 323 Kostrad, ini.

“Ini adalah skenario lanjutan dari upaya melanggengkan kekuasaan, yang mengkhianati amanat Reformasi,”sambungnya.