BERITABETA.COM, Ambon – Gugatan tiga pasangan calon (paslon) di Pilkada tiga Kabupaten di Provinsi Maluku ke Mahkamah Konstitusi (MK),  diapresiasi pihak KPU sebagai hak konstitusional paslon yang tidak puas dengan penetapan KPU di tiga daerah tersebut.

Koodinator Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Provinsi Maluku, Almudatsir  Sangadji mengatakan, gugatan itu merupakan sarana yang tersedia melalui mekanisme hukum, dan karenanya harus dimaknai sebagai peristiwa hukum yang akan dihadapi KPU.

“Dengan menarik KPU sebagai Termohon, KPU akan mempertanggung jawabkan keputusan penetapan yang telah sesuai ketentuan  dalam persidangan di MK.,” ungkap Almudatsir kepada beritabeta.com di Ambon, Kamis (24/12/2020).

Untuk itu, kata Almudatsir,  KPU berharap publik tidak membangun polemik gugatan di MK, yang diajukan paslon di tiga kabupaten masing-masing, Kabupaten Maluku Barat, Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kabupaten Seram Bagian Timur sebagai peristiwa politik, karena KPU bukan bagian dari kontestan Pemilihan.

“Gugatan itu  hanya menguji kebenaran dan keabsahan KPU dalam menetapkan perolehan suara akhir di MK, dan karenanya harusnya dimaknai sebagai peristiwa hukum semata,” tandasnya.

Ia menjelaskan, sesuai ketentuan, perolehan suara akhir  pasangan calon yang ditetapkan KPU dapat diuji di MK. MK akan memutus perkara tersebut dalam 45 hari sejak registrasi,  dan putusan MK bersifat final dan mengikat.

Putusan MK dapat memunculkan dua kemungkinan, menolak permohonan Pemohon atau mengabulkan permohonan Pemohon.  Dalam hal MK menolak permohonan Pemohon, keputusan penetapan tetap sah dan berlaku, dan akan dilanjutkan KPU dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Sebaliknya jika MK mengabulkan permohonan Prmohon, KPU akan menindaklanjuti putusan MK, dengan menerbitkan Keputusan penetapan, dan menetapkan pasangan calon terpilih berdasarkan putusan MK.

Dikatakannya, KPU akan menggunakan momentum gugatan Pemohon di MK, sebagai l bentuk eksaminasi publik dan hukum atas penetapan hasil Pemilihan yang ditetapkan KPU, sesuai ketentuan yang berlaku. Agar tidak ada lagi opini publik yang tidak dapat diuji kebenarannya, kecuali melalui sarana hukum yang tersedia.

“Dengan adanya putusan MK, kita berharap kepercayaan publik terhadap KPU semakin baik dan terjaga. Dan publik tidak lagi mereduksi hasil Pemilihan dengan cara-cara dan diskusi politik yang tidak berkesudahan,” paparnya.

KPU juga mengapresiasi pasangan calon yang kalah dalam penetapan KPU, dan tidak mengajukan sengketa PHP ke MK.  Itu artinya calon menerima dan mengapresiasi hasil akhir penetapan KPU, sehingga tidak mengajukan gugatan hukum.

Hak Pemohon PHP

Menurutnya, sesuai ketentuan Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan ini telah ditetapkan dalam pasal 156  ayat (1)  UU 10/2015  tentang Perubahan kedua UU 1/2015 tentang Pemilihan  menyatakan Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.

Ayat (2) menegaskan Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

Namun, tambahnya, untuk dapat mengajukan PHP ke MK, Pemohon harus memperhatikan ketentuan dan syarat dalam Pasal Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016, jika selisih perolehan suaranya berada dalam ambang batas mengajukan permohonan PHP.

“Selisih ambang batas itu berada dalam kisaran 0,5 % -2 % sesuai jumlah penduduk dalam ayat (1) untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan ketentuan jumlah penduduk dalam ayat (2) untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota,” urainya.

Untuk itu, lanjut Almudatsir, sesuai ambang batas Pasal 158 ayat (2) tersebut, maka tiga kabupaten di Maluku  yang terdapat permohonan PHP berada dalam kualifikasi 2 %, karena penduduknya  kurang dari 250 ribu jiwa.

“Jadi KPU sebagai Termohon  akan melakukan eksepsi pemenuhan syarat formil dalam Pasal 158 UU 10/2016, jika PHP yang diajukan Pemohon tidak memenuhi syarat Pasal 158 UU 10/2016 tersebut,” tandasnya.

Selanjutnya, jika eksepsi KPU diterima, MK dapat memutus dalam pemeriksaan pendahuluan, PHP Pemohon tidak dapat diterima dan PHP Pemohon  tidak dapat diperiksa lebih lanjut dalam pokok perkara PHP.

KPU juga mengantisipasi jika MK menolak eksepsi Termohon berkaitan dengan penerapan Pasal 158 UU  10/2016, sehingga MK memeriksa ketentuan tersebut dalam pokok perkara, dan akan diputus bersamaan dengan putusan akhir.

Hal ini perlu diantisipasi KPU, karena MK tidak mengadopsi ketentuan Pasal 158 UU 10/2016 tersebut,  dalam Peraturan MK berkaitan pedoman beracara di MK, seperti Peraturan MK sebelumnya dalam Pemilihan 2015, Pemilihan 2017 dan Pemilihan 2018.

Ini artinya MK dapat saja terikat atau tidak terikat dengan norma Pasal 158 UU 10/2016, dalam pertimbangan hukum putusannya. Seperti putusan MK sebelumnya, dimana MK mengadopsi Pasal 158 UU 10/2016 sebagai syarat formil PHP.

“Intinya, apapun skenario sidang dan pembuktian di MK, KPU akan siap dengan  jawabannya untuk menguji kebenaran  keputusan penetapannya,” tutupnya (BB-DIO)