Catatan : Mary Toekan Vermeer

Langit mulai temaram. Dari tempatku berdiri, mataku tak lepas mengagumi kebesaran Allah SWT. Semburat keemasan dari rimbunan pepohonan, bersama helai - helai daun bergerak jatuh dengan lamban, mendarat di permukaan tanah, menyihir suasana seketika lebih romantis.

Kudengar langkah kaki kecil berlari ke arahku.

" Tanteeee " : ia memelukku dari arah belakang. Kugenggam jemarinya yang dingin, memberinya rasa hangat. " Mana oma ? " : tanyaku padanya.  "Dah pulang, " katanya menunjuk ke arah tikungan jalan.

Sebentar lagi maghrib. Kulirik jam tanganku, masih ada waktu setengah jam menuju hutan, menyusuri jalan setapak. Gadis kecil ini penghilang penatku.

Kupegang tangannya, mengajaknya merasakan dinginnya semilir angin di musim gugur, menghidu harumnya tanah. Sesekali ia  memprotes bahasa Belandaku yang terdengar rada aneh di kupingnya.

Sekarang ia sudah 11 tahun. Pertama kali diperkenalkan omanya kepadaku ia berumur 7 tahun. Aku langsung jatuh cinta. Ia tinggal bersama omanya sejak berusia 3 tahun.

Gadis kecil bermata biru ini tak pernah mengenal wajah ayahnya, entah di mana rimbanya. Ia hadir akibat bebasnya hubungan intim kendati hanya sesaat.

Sebut saja namanya Tosca, oma dari gadis kecil ini. Tosca teman baikku. Kami berkenalan empat tahun lalu. Awalnya ia tak begitu nyaman, sebab "buruknya " citra Islam dimatanya, plus hijab yang kukenakan.

Aku sendiri tak perlu menerangkan panjang lebar tentang Islam padanya. Dari persahabatan kami, kesan " buruk " itu perlahan terkikis.

Sering ia menumpahkan kekhawatiran tentang putri semata wayangnya, yang terkena masaIah gagal cinta berulang kali. Dua garis merah itu, ditunjukkan putrinya membuatnya kembali terduduk lemah.

Ya, putrinya hamil lagi untuk ke empat kalinya. Sebenarnya ini sesuatu hal biasa di negeri - negeri Barat. Dua orang saling mencinta memutuskan hidup bersama [samen leven] .

Namun ibu, tetaplah ibu. Allah berikan kadar cinta yang sama pada hati setiap rahim yang dititipkan.

Ke empat anak - anak dari putrinya, berasal dari benih yang berbeda - beda. Ketika tak lagi sepaham, tak sulit untuk berpisah. Toh tak ada janji yang mengikat.

Kupeluk dirinya. Tetes hangat menggenang di mataku. Mestinya ia tak perlu khawatir, sebab ada subsidi pemerintah untuk setiap anak di sini. Tapi bukan itu. Gejolak pilu menyesaki dadanya.

Kali ini putrinya mengandung anak dari lelaki asal negeri Al Fatih. Mereka sudah beberapa bulan hidup bersama. Feeling keibuannya tak yakin, mereka akan baik - baik saja.

" Kok bisa? Maksudku, bukankah si lelaki seorang muslim?, " tanyaku dengan polos.

" Ya, mengapa? " ia balik bertanya. Oh ya, sekarang aku baru mengerti. Rasanya tak perlu lagi ku jawab.

Tak sedikit anak - anak Muslim di sini  ikut melarungkan diri, berselancar di atas kultur masyarakat Barat.

Bersyukurlah kita yang masih mempunyai hak penuh atas putri - putri kita sepanjang belum terikat pernikahan. Tangan - tangan kokoh kedua orang tua adalah malaikat penyelamat ketika mereka berada di tepi tebing kegelapan.

Berbeda dengan di sini. Setiap anak di negeri Barat saat berusia 18 tahun, akan mendapatkan hak penuh untuk menentukan jalan hidupnya.

Sebuah momen dimana mereka boleh merasakan hubungan dua orang dewasa untuk pertama kalinya.Tak ada lagi hak orang tua. Hak itu telah sampai di garis batas.

Aku teringat peristiwa dua tahun lalu sebelum masa pandemi.

Bunyi handphone di atas meja terus saja memanggilku. Agak malas aku mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon.

Kupaksakan juga menjawab,  "Ya". Isak tangis sesenggukan bak air bah langsung ditumpahkan sekaligus dari seberang sana. Kaget bercampur panik , kukira ada yang meninggal.Ternyata putrinya berulah lagi. Kutarik nafas sebentar.

Putrinya ini dibesarkan mengikuti tradisi Barat. " Aku takkan pernah melarangnya jika itu membuatnya Bahagia, " begitu kata ibunya setiap kali diingatkan.

Rumahnya tak jauh dari rumah kami. Butuh waktu 10 menit jalan kaki. Sesama Muslim biasalah saling support.

Akhirnya kutekan juga bel di pintu rumahnya. Ia menghambur ke arahku, betul - betul terpukul. Bagaimana tidak ? Ia mendapati putrinya sedang melakukan hubungan intim sejenis di kamarnya. Di dalam rumahnya sendiri!

Berlari ia menuruni tangga. Tak tahu apa yang harus  dilakukan. Sekarang ia terpenjara dalam ketidakberdayaan. Jika menentang, termasuk  diskriminasi. Hubungan ini diakui negara.

Aku terdiam.  Melihat cara dia membesarkan putrinya, aku bisa menduga seperti ahli nujum, ke mana muara garis takdir itu. Ibarat plot twist dalam drama. Kisah mereka menukik tajam menghunjam tanah.

Sangat jelas, setegas berbedanya warna hitam dan  putih. Seperti minyak dituang ke dalam air. Tak akan pernah menyatu.

Begitulah peradaban yang sedang diberi jatah memegang kendali dunia saat ini, bila disandingkan dengan peradaban yang dititipkan Allah SWT kepada Rasul-Nya dan para sahabat hingga generasi Muslim sekarang.

Seumpama jarak langit dan bumi. Cerita ke dua putri dari kalangan masyarakat biasa ini tentu berbeda dengan kisah sang putri di balik tembok istana.

Wajahnya cantik, persis ayahnya, sang Raja dari negeri Kincir. Princess Catharina - Amalia.

7 Desember lalu, princess Amalia, menginjak usia 18. Dari titik ini, sang putri akan mendapat perhatian ekstra. Antrian list peraturan dan setumpuk pekerjaan, sedang menunggunya.

Digandeng ayahnya dalam pertemuan parlemen, ia menjelma menjadi wanita dewasa. Sang putri kini resmi menjadi calon pemegang tahta orange.

Ini berarti, dari cara berpakaian hingga kepada siapa cintanya dilabuhkan, tak boleh lepas dari aturan yang mengikat.

Diantara sederet aturan, ada hukum yang harus dipatuhinya. Hukum ini telah berlaku selama kurang lebih 200 tahun. Dalam undang - undang yang dibuat pada tahun 1830 itu,  anggota kerajaan Belanda dan Belgia dilarang mengikat cinta dalam sebuah pernikahan.

Bisa jadi haram juga hukumnya ketika cinta sang putri tersangkut di hati pemuda Arab meskipun dalam level yang sama, seorang pangeran.

Tak lain karena harkat dan martabat kerajaan ada dalam genggamannya. Ada tanggung jawab teramat besar menanti sang putri di singgasana. Termasuk urusan hati, ke mana layaknya ditambatkan.

Anehnya, ketika ada aturan hampir menyerupai jenis ini berlaku bagi putri - putri kita umatnya Rasulullah SAW, justru terlihat janggal dalam masyarakat kekinian. Umat Muslim dianggap sedang berlari mundur ke zaman prehistory.

Sejarah mencatat ada satu masa dimana penduduk Makkah berada di titik nadirnya. Kerusakan moral terjadi dimana - mana, tanpa ada yang peduli. Masa itu kita kenal dengan masa jahiliyah.

Masyarakat Makkah hidup dalam kebebasan. Berbagai bentuk perzinaan " dilegalkan " dalam ikatan yang mereka sebut pernikahan.

Imam Mawardi menulis dalam kitabnya " Al - Hawi - Al Kabir ". Beliau menjelaskan jenis - jenis pernikahan yang telah dilarang dalam syariat. Pernikahan  itu adalah pernikahan Al - Istibdhâ, Al - Rahth dan Al-Râyah.

Pernikahan Al - Istibdhâ adalah pernikahan dimana seorang suami meminta istrinya pergi kepada lelaki terpandang dan meminta dicampurinya. Si suami akan menjauhinya dan tidak menyentuhnya hingga istrinya hamil dari keturunan yang dianggap membawa kehormatan keluarga.

Pernikahan berikutnya adalah pernikahan Al - Rahth, yaitu seorang wanita " menikahi " kurang dari 10 laki - laki. Bila terjadi kehamilan, si wanita bebas menasabkan anaknya kepada lelaki yang ditunjuknya. Tak boleh ada yang menolak keputusannya.

Lalu pernikahan Al - Râyah. Pernikahan ini adalah pernikahan yang dibuat sendiri oleh perempuan jahiliyah. Ia  menancapkan bendera di depan rumahnya sebagai " kode " bagi siapa saja lelaki yang mau datang padanya.

Jika hamil. Ia akan meminta seorang Qa'if  [orang pintar yang " katanya " bisa mengamati keturunan janin dalam perut ] untuk menunjuk siapa bapaknya. Keputusan Qa'if tak bisa diganggu gugat. Yang ditunjuk tak boleh menolaknya.

Naudzubillahi mindzalik !

Ibunda kita Aisyah, RA meriwayatkan satu hadits,  "Ketika diutus membawa kebenaran, Muhammad membatalkan semua pernikahan jahiliyah itu, kecuali pernikahan seperti yang dilakukan orang - orang sekarang "

Itulah pernikahan Al - Wilâdah. Pernikahan dengan niat mendapatkan keturunan, membentuk sebuah keluarga.

Dalam pernikahan ini, seorang lelaki mendatangi wali si perempuan, meminangnya dengan baik. Ia menyerahkan mahar sebagai imbalan dan penghargaan kepada si wanita atas kesediaan untuk dihalalkan dan dinikahi.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyebutkan, "Aku dilahirkan dari sebuah pernikahan [yang dibenarkan] , bukan dari perzinaan ".

Cahaya itu telah dihantarkan manusia paling mulia Rasulullah SAW, 1500 tahun lalu. Islam telah menyelamatkan jazirah Arab dari belenggu kebodohan. Binarnya kemudian  menyebar ke seantero bumi. Mengeluarkan manusia dari kegelapan.

Kini periode jahiliyah itu hadir kembali dengan  berganti wajah lebih lembut dan mempesona.

Kita digempur dari segala arah dengan nilai - nilai liberal masyarakat Barat yang  nota bene mengalami trauma beragama.

Jangan salah memungut ilmu yang berserakan. Propaganda tentang hak dan kebebasan, masif ditiupkan, merusak jaringan nadi keimanan, menghantam jantung pemikiran umat Muslim.

Kasus seorang perempuan berstatus mahasiswi, ditemukan bunuh diri di samping makam ayahnya akibat hamil di luar nikah, belum lama viral di media sosial.

Mestinya kita mengambil ibroh dari kejadian ini. Betapa berbahayanya harga dari sebuah kebebasan. Jangan lenyapkan akar masalahnya agar terbaca jelas oleh putri - putri kita.

Belum lagi kering kesedihan, datang kabar seorang guru pesantren menggagahi 13 murid wanitanya. Innalillahi wa inna ilahi rojiun !

Mengapa jadi semakin brutal begitu ?

Tak salah memang kalimat Khalifah Umar bin Khottab, RA. Beliau berpesan, " Pelajarilah oleh kalian adab terlebih dulu , kemudian pelajarilah ilmu ".

Kata para ulama,  " Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan mempelajari ilmu selama 20 tahun ". Sebab adab akan  menempatkan manusia menjadi manusia sejati.

Ibu,  sekumpulan kata - kata indah berserakan di halaman kita hampir setiap hari. Sudahkah kita  tahu apa itu ghazwul fikri ? Amati dengan cermat deretan huruf - huruf itu. Barangkali itulah senjata yang sedang menginvasi cara berpikir kita.

Banyak para ibu tak mau peduli tentang ini, padahal di depan mata, satu persatu orang - orang tercinta, tertebas imannya. Di hadapan kita, putri - putri kita terancam masa depannya.

Jangan hanya berkutat di majelis ta'lim seputar sholat, puasa, mengaji dan semisalnya. Tak cukup bekal ini  buat putri - putri kita menjelajahi bumi.

Mereka adalah amanah yang Allah titipkan.  Berlarilah sebelum semuanya terlambat untuk berbenah diri. Sesungguhnya Allah tak pernah menepis tangan yang menengadah, menghambur pada-Nya.

Mari bersujud sejenak di atas sajadah, menderaskan doa - doa terbaik untuk putri - putri kita. Skenario mereka ada dalam doa - doa setiap ibu. Merekalah putri - putri di kerajaan ayahnya.

Akan selalu ada hadiah dibalik itu. Sebuah Kado berbungkus cinta dan kebahagiaan dalam warna yang kita mau.  Allah tak mungkin salah memberikannya.

Ibu,  temani putrimu. Bersama mereka, mengeja kembali satu persatu cinta Allah. Selamat Hari Ibu. Setiap kata adalah untaian doa beribu cinta dari yang bernama ibu. Wallahu a'lam bishowab.

Geldrop, 18 Jumadil Awal 1443 H.