Privatisas sektor perikanan dan daerah penangkapan ikan (model WPPNRI) membenarkan bahwa aktivitas sebagai penyebab kerusakan ekologis (Altamirano-Jiménez 2017; Carothers and Chambers 2012). Pasalnya, “hak menangkap ikan” berubah menjadi aset keuangan penuh (Knott dan Neis 2017). Akibatnya, neoliberalisme dalam kelautan dan perikanan membuat ikan semakin tidak berhubungan dengan nelayan.

Ikan berubah menjadi komoditas yang aneh. Salah satu instrumen kebijakan privatisasi ini adalah individual transferable quotas/ITQs). Kita di Indonesia saat ini mau menerapkannya dan dinamai  “Sistem Kontrak WPPNRI”. Inilah bentuk “riil” perampasan laut (ocean grabbing) yang melibatkan aktor negara, korporasi  nasional maupun asing yang nantinya menguras sumberdaya ikan.

Penulis menduga instrumen baru dan rancangan kelembagaan yang akan dikeluarkan pemerintah ini bakal menjustifikasi LIN sekaligus privatisasi laut dan sumberdayanya di Indonesia.

Apa yang terjadi? Nelayan kita bukan tambah sejahtera, malah sebaliknya. Saya meminjam istilah Prof. Dr. Endriatmo Sutatarto, yang menyatakan bahwa berbagai kebijakan “horror” yang dilahirkan negara (terutama UU Cipta Kerja dan turunannya), berimbas pada nelayan nelayan tradisional kita.

Mereka tidak lagi menjadi tuan di negaranya sendiri melainkan  jadi “Pengungsi Agraria” di wilayah kelola dan sumberdayanya. Pasalnya, ruang laut dan sumberdayanya adalah merupakan sumberdaya agrarian juga.

LIN jangan sampai jadi model privatisasi ruang laut dan sumberdaya-nya yang tak hanya mengancam kehidupan sosial ekonomi nelayan, sumberdaya dan ekologinya. Melainkan juga eksisten NKRI. Pasalnya, nantinya kapal-kapal asing bakal mondar mandir di perairan kita dan menguras ikannya. Sebelum ada sistem kontrak sudah marak apalagi sudah punya kontrak.

Lantas yang penulis khawatirkan jangan sampai kebijakan ini hanyalah instrumen untuk kepentingan politik pemburu rente, mafia perikanan dan  kaum komprador. Mereka memanfaatkannya buat mengeruk keuntungan finansial dibalik kebijakan itu.

Mereka bukanlah pengusaha melainkan hanya seolah-olah pengusaha yang mendapatkan kontrak WPPNRI lalu dijual/dikontrakan lagi ke pihak asing. Mungkinkah demikian? Sangat mungkin apalagi jelang pesta demokrasi 2024 buat pengumpulan amunisi.

Silahkan cermati kasus kebijakan ekspor benih lobster yang akhirnya membuat Menteri KP masuk bui. 

Penulis mengusulkan, pemerinah lebih baik mendorong industri perikanan rakyat di Maluku dan Maluku Utara supaya industri ikan kayu, ikan asap, ikan asin dan jenis produk lainnya berdaya saing tinggi. 

Disertai dukungan pengembangan teknologi informasi (digitalisasi), teknologi pengolahan dan akses permodalan yang memadai berupa kelembagaan keuangan inklusif (dapat diakses oleh nelayan tanpa jamian). Ketimbang memaksakan program angina sorga dan memberi karpet merak bagi asing di kawasan LIN Maluku dan Maluku Utara (*)