Namun, jika kita harus jujur melihat persoalan yang ada, sejarah terjadinya pemekaran kabupaten/kota itu terjadi semua atas inisiatif, dorongan dan tuntutan masyarakat. Padahal saat itu regulasi sangat memungkinkan dilakukan pemekaran daerah lebih banyak,  karena syarat pemekaran tidak terlalu sulit.

Inilah yang menjadi pertayaan apakah saat itu Pemerintah Daerah tidak mampu melihat sisi positif dari hasil pemekaran? ataukah memang berpura-pura bodoh, diam karena kepentingan kekuasaan?

Sekarang kita dihadapkan pada kondisi semakin sulit dengan regulasi dan di satu sisi terkunci dangan kebijakan moratorium oleh Pemerintah Pusat dengan alasan kemampuan keuangan Negara.

Artinya, ini sama dengan sesungguhnya para petinggi kita di Maluku terlambat dan kurang jeli membaca peluang di tengah kompetisi antar wilayah regional, antar provinsi, ketika regulasi sangat memungkin dan mudah saat itu.

Saat ini,  mampukah kita bangkit untuk terus memperjuangkan 13 calon Daerah Otonom Baru (DOB) yang telah berproses sampai ke Pempus,  meskipun masih terganjal moratorium?.

Hal ini perlu diperjuangkan lagi, sebab ke- 13 DOB yang diusulkan masih terdapat beberapa kekurangan syarat administrasi maupun syarat wilayah yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten.

Sebagai contoh calon DOB Kota Kepulauan Lease yang hingga kini masih terdapat kekurangan berupa  syarat persetujuan bersama Bupati dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah, mungkin juga untuk DOB Kabupaten Seram Utara, DOB Jasizah dan DOB Kepulauan Banda.

Semuanya tentu berpulang kepada pemangku kepentingan di daerah. Apakah masih bersedia untuk melihat dan merespons aspirasi masyarakat di daerahnya?, Harapannya jangan hanya berpikir kekuasaan tapi mengabaikan tuntutan masyarakat.