Kutipan langsung itu bersifat transkip langsung dari pernyataan narsum, sehingga tidak boleh mengubah diksinya. Dampaknya akan terjadi kesalahpamahan bahkan mengubah makna kutipan.

Silakan tanyakan pada para pakar media di Maluku bahkan nasional mengenai hal ini. Bila perlu, baca buku 9+1 Elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dengan judul "The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers) untuk menambah wawasan jurnalisme basudara.

Lantas bagaimana aslinya sambutan Pak Wabup? Panjang sambutan Pak Wabup itu 8 menit 36 detik. Begini transkipnya yang sesuai pada menit ke 1.47- 2.57:

"Kita ingin memastikan tentang kehadiran pemerintah di tengah-tengah masyarakat. Itu berarti, kita ingin memberi kesan bahwa keempat desa tidak sendiri dalam menghadapi persoalan itu. Maka pada kesempatan ini kita hadir karena ada berita-berita yang cukup luar biasa yang berada di media sosial maupun media elektornik bahwa keadaan terkhususnya di Sabuai itu keadaannya luar biasa. Kita melihat dan membaca seperti itu. Maka kita memastikan hadir supaya kita melihat sendiri bahwa oh iya ternyata keadaannya seperti ini,"

Silakan cari, dimana diksi "terprovokasi" itu berada dalam transkip di atas? tentu tidak ada. Oleh sebab itu, kuat dugaan jurnalis yang menulis berita tersebut secara sadar menambahkan diksi "terprovokasi" dalam kutipan langsung Pak Wabup.

Ini melanggar etika sekaligus kaidah jurnalistik yang imbasnya pada perubahan makna kutipan. Apakah ada udang di balik batu dengan penambahan diksi? Wallahu a'lam bishawab.

Kedua, dari sisi keabasahan, faktalintasnusa.com sebagai media utama yang dijadikan sumber pemberitakan dari objek yang dimasalahkan, juga sangat diragukan. Hal ini dapat dilihat dari isi dan tampilan media tersebut yang belum memiliki beberapa kententuan dan syarat sebagai media online.

Antaranya, tidak memiliki susunan redaksi, sebagai syarat utama dari media yang profesional dan juga tidak menampilkan Pedoman Pemberitaan Media Siber  yang wajib ditampilkan di laman website media tersebut.

Padahal, Pedoman Pemberitaan Media Siber  ini menjadi hal mutlak yang harus ditampilkan sesuai keputusan bersama sejumlah organisasi pers yang meliputi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Serikat Perusahaan Pers (SPS) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Artinya, bila kasus ini digiring ke ranah hukum, maka sebagai sumber utama dalam pemberitaan kasus ini, posisi media dimaksud berpeluang digiring ke penggunaan Undang-Undang ITE Nomor 19 Tahun 2016, Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena sudah pasti media bersangkutan belum terdaftar di Dewan Pers.

Ketiga, seluruh media yang diatas atas hanya mencomot atau mengambil kutipan dari lintasfaktanusa.com tanpa melakukan verifikasi kepada Wabup SBT sendiri atas pernyataannya itu.  Bahkan dalam pengembangan beritanya, tidak satupun media tersebut melakukan klarifikasi atau check and balance kepada Wabup atau perangkat pemerintah yang hadir dalam acara tersebut. Bukankah ini juga melanggar kaidah jurnalistik?

Kata Bill Kovach dalam 9+1 elemen jurnalistik, salah satu elemen penting jurnalisme adalah Disiplin Verifikasi. Kenapa ini penting? sebab elemen ini yang akan membedakan mana kerja jurnalistik dan mana kerja infotainment, propaganda, fiksi, dan karya seni lainnya.

Menyinggung sedikit soal propaganda. Apakah media bisa jadi alat propaganda? Oh, jelas bisa. Dalam ekosistem media saat ini, banyak media yang jadi corong propaganda.