Oleh : Musyafi Rumadan (Direktur Olasaka Institut)

Satu minggu terakhir ini, ramai pemberitaan di sejumlah media terkait pernyataan Wakil Bupati Seram Bagian Timur (SBT) menyoal banjir di Kecamatan Siwalalat yang di mulai dari Desa Sabuai, Desa Abuleta, Desa Naiwel dan Negeri Atiahu.

Sejujurnya, saya  sangat menghargai kinerja jurnalistik dari media manapun, baik nasional maupun lokal. Terlebih itu Pers lokal, harus didukung untuk mengabarkan peristiwa terkini yang valid dan verifikatif. Bila perlu, pers mengabarkan berita yang "tajam dan terpcercaya" seperti slogan Liputan 6 SCTV tempo dolo.

Sebagai penulis, saya  juga menyadari betul bahwa media, terutama Pers yang bertugas memproduksi berita, sejatinya telah mengisi kekosongan demokrasi di Indonesia sejak reformasi. Dan apabila ada Pers yang bekerja di daerah SBT tercinta ini, maka kebebasan demokrasi itu kini telah hadir di tanah Ita Wotu Nusa.

Mari kita bertanya lagi, "Mengapa kehadiran pers penting di SBT?" Untuk menjawab hal ini, beta ingat masa-masa belajar politik dulu di Universitas Padjajaran Bandung tentang pidato fenomenal Presiden Amerika Serikat terpilih, Thomas Jefferson, pada 4 Maret 1801 yang mengatakan bahwa ‘No Democracy Withaout Free Press,’  (Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers).

Dari mana Jefferson mendapat gagasan pidato itu? Tentu saja itu mengemuka dari pemikiran John Locke tentang Hak Azasi dan dari gagasan Montesquieu tentang Trias Politika sebagai poros kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Dari sinilah kita bisa dengan bebas mengkalim Pers sebagai poros keempat demokrasi alias the fourth of estate.

Terkait dengan kebebasan pers inilah, penulis  ingin membedah lebih dalam terkait bagaimana jurnalistik media di SBT bekerja, terutama menyangkut pemberitaan kunjungan Wabup SBT ke Kecamatan Siwalalat.

Seperti yang sekarang sedang viral, sejumlah awak media SBT di bawah payung PWI melakukan aksi demo di kantor Bupati SBT dan menuntut Wabup SBT meminta maaf atas pernyataan yang dinilai menyinggung insan pers SBT.

Hal ini bermula dari pemberitaan di faktalintasnusa.com yang kemudian dikutip beritabeta.com, hunimuanews.com, terasmaluku.com, dan dikembangkan oleh RRI Bula. Atas kondisi ini, sebagai penulis saya mengajak semua pihak untuk bedah secara teknis terkait materi berita yang sudah terlanjur mengharu biru ini.

Berikut ada beberapa poin yang harus dibahas disini :

Pertama, seluruh media di atas melakukan kesalahan kutipan langsung dengan menambahkan diksional di luar ucapan Wabup SBT. Dimana salahnya? Simak ini:

”dan saya berharap masyarakat jangan terlalu terprovokasi dengan informasi pada media sosial dan media elektronik yang membesar-besarkan banjir Sabuai.” dilansir dari faktalintasnusa.com.

Perhatikan kata "Terprovokasi" dalam kutipan dari faktalintasnusa.com yang sejatinya tidak ada dalam pernyataan Wabup SBT. Jika Pers menambahkan kata dalam kutipan langsung, berarti itu melanggar kaidah jurnalistik sebab berita tidak boleh dicampuradukkan dengan opini.

Kutipan langsung itu bersifat transkip langsung dari pernyataan narsum, sehingga tidak boleh mengubah diksinya. Dampaknya akan terjadi kesalahpamahan bahkan mengubah makna kutipan.

Silakan tanyakan pada para pakar media di Maluku bahkan nasional mengenai hal ini. Bila perlu, baca buku 9+1 Elemen Jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dengan judul "The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers) untuk menambah wawasan jurnalisme basudara.

Lantas bagaimana aslinya sambutan Pak Wabup? Panjang sambutan Pak Wabup itu 8 menit 36 detik. Begini transkipnya yang sesuai pada menit ke 1.47- 2.57:

"Kita ingin memastikan tentang kehadiran pemerintah di tengah-tengah masyarakat. Itu berarti, kita ingin memberi kesan bahwa keempat desa tidak sendiri dalam menghadapi persoalan itu. Maka pada kesempatan ini kita hadir karena ada berita-berita yang cukup luar biasa yang berada di media sosial maupun media elektornik bahwa keadaan terkhususnya di Sabuai itu keadaannya luar biasa. Kita melihat dan membaca seperti itu. Maka kita memastikan hadir supaya kita melihat sendiri bahwa oh iya ternyata keadaannya seperti ini,"

Silakan cari, dimana diksi "terprovokasi" itu berada dalam transkip di atas? tentu tidak ada. Oleh sebab itu, kuat dugaan jurnalis yang menulis berita tersebut secara sadar menambahkan diksi "terprovokasi" dalam kutipan langsung Pak Wabup.

Ini melanggar etika sekaligus kaidah jurnalistik yang imbasnya pada perubahan makna kutipan. Apakah ada udang di balik batu dengan penambahan diksi? Wallahu a'lam bishawab.

Kedua, dari sisi keabasahan, faktalintasnusa.com sebagai media utama yang dijadikan sumber pemberitakan dari objek yang dimasalahkan, juga sangat diragukan. Hal ini dapat dilihat dari isi dan tampilan media tersebut yang belum memiliki beberapa kententuan dan syarat sebagai media online.

Antaranya, tidak memiliki susunan redaksi, sebagai syarat utama dari media yang profesional dan juga tidak menampilkan Pedoman Pemberitaan Media Siber  yang wajib ditampilkan di laman website media tersebut.

Padahal, Pedoman Pemberitaan Media Siber  ini menjadi hal mutlak yang harus ditampilkan sesuai keputusan bersama sejumlah organisasi pers yang meliputi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Serikat Perusahaan Pers (SPS) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Artinya, bila kasus ini digiring ke ranah hukum, maka sebagai sumber utama dalam pemberitaan kasus ini, posisi media dimaksud berpeluang digiring ke penggunaan Undang-Undang ITE Nomor 19 Tahun 2016, Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena sudah pasti media bersangkutan belum terdaftar di Dewan Pers.

Ketiga, seluruh media yang diatas atas hanya mencomot atau mengambil kutipan dari lintasfaktanusa.com tanpa melakukan verifikasi kepada Wabup SBT sendiri atas pernyataannya itu.  Bahkan dalam pengembangan beritanya, tidak satupun media tersebut melakukan klarifikasi atau check and balance kepada Wabup atau perangkat pemerintah yang hadir dalam acara tersebut. Bukankah ini juga melanggar kaidah jurnalistik?

Kata Bill Kovach dalam 9+1 elemen jurnalistik, salah satu elemen penting jurnalisme adalah Disiplin Verifikasi. Kenapa ini penting? sebab elemen ini yang akan membedakan mana kerja jurnalistik dan mana kerja infotainment, propaganda, fiksi, dan karya seni lainnya.

Menyinggung sedikit soal propaganda. Apakah media bisa jadi alat propaganda? Oh, jelas bisa. Dalam ekosistem media saat ini, banyak media yang jadi corong propaganda.

Contoh sederhana, propaganda media barat tentang wajah Islam yang buruk, Islam yang dekat dengan teroris dll. Di dalam negeri, ada media yang bahkan terang-terangan berpihak pada pemerintah dan ada yang kontra pemerintah. Itulah wajah paradoks media saat ini.

Untuk itu, SBT sangat membutuhkan media yang independen, yang berpihak pada kebenaran, yang mengabarkan fakta bukan hoax, yang cover both sides, dan menjadi watch dog bagi pemerintah. Ini yang kita harapkan bersama.

Keempat, kesemua media di atas secara jelas melakukan kesalahan berjamaah dengan memasukkan kutipan langsung yang salah dalam pemberitaan. Dan ini, dapat berimbas hukum bagi media tersebut, baik disomasi oleh narasumber maupun dilaporkan kepada Dewan Pers.

Lantas, apakah Wabup sebagai narasumber yang dirugikan dalam pemberitaan ini akan mengambil langkah hukum somasi atau mengadu ke Dewan Pers? Beta rasa, TIDAK. Didemo oleh PWI SBT kemarin saja, beliau tidak larang, apalagi mensomasi? Beta yakin, beliau masih menjunjung kebebasan pers itu sendiri.

Tapi, Wabup SBT juga memberi literasi media kepada publik dan mungkin untuk insan pers itu sendiri bahwa dalam membangun SBT ini, kita semua harus kompak. Pemberitaan pun harus yang sesuai fakta dan menyadarkan pemerintah juga masyakarat, bukan berita yang mengaburkan situasi atau memperparah persepsi publik.

Dalam kutipan sambutannya, Wabup menegaskan:

"Saya berharap kita di sini semua akan memberikan informasi yang baik. Jangan kita membuat isu-isu itu menjadi informasi-informasi liar yang menyebabkan seakan-akan kita ini tidak memperdulikan keadaan, baik itu di Kecamatan Siwalalat maupun pada kecamatan-kecamatan yang lain. Sebenarnya dampak ini juga terjadi di Bula, terjadi juga di Kecamatan Seram Timur, terjadi juga di Teor, di Kesuai, dan di Gorom,"

Wabup juga mengatakan: "Pada kesempatan ini, saya sampaikan bahwa ada sedikit bantuan dari pemerintah daerah kepada keempat desa yang datanya telah masuk melalui Pak Camat. Dan itu nanti diserahkan oleh pemerintah daerah secara simbolis dan akan diterima langsung oleh masing-masing kepada desa dari keempat desa tersebut,"

Di sini, kita perlu mengapresiasi Pak Camat Siwalalat yang menurut pernyataan Pak Wabup, informasi terkait sudah langsung masuk ke pemerintah SBT sehari setelah kejadian banjir itu.

"Sesungguhnya, keadaan yang dialami oleh 4 desa baru-baru (Desa Sabuai, Desa Abuleta, Desa Naiwel dan Negeri Atiahu), begitu bencana terjadi, Pak Camat, sehari sesudah bencana itu Pak Camat telah mengirimkan keadaan, kondisi yang terjadi pada desa-desa tersebut. Dan Alhamdulillah syukur, berdasarkan laporan Pak Camat tersebut, bahwa tidak ada korban jiwa maupun korban harta benda. Itu yang Pak Camat sampaikan kepada Pak Sekda maupun kepada saya..."

Sampai di sini, duduk persoalan bisa kita ketengahkan kesimpulannya bahwa kegaduhan belakangan ini yang menyeret nama Wabup SBT, Idris Rumalutur, sesungguhnya adalah "kekhilafan" pemberitaan semata yang kemudian direspons para insan pers dengan sedikit kekecewaan dan demonstrasi. Sungguh ini sesuatu yang wajar saja dan demonstrasipun adalah hak demokrasi para insan pers.

Tapi kalau mau bermain lebih cantik lagi, maka demonstrasi terbesar wartawan bukanlah mengangkat toa dan miktofon, melainkan mengangkat pena jurnalistik itu dan memproduksi berita yang menggugah kesadaran publik dan pemerintah agar bersama membangun SBT tercinta secara serius.

Kritik dan Masukan Bagi Pemkab SBT

Setelah menjelaskan duduk perkara di atas, sebagai penulis dalam tulisan ini, saya juga ingin menyoroti dua poin penting yakni komunikasi publik Pemda SBT dan relasi media.

Pertama, untuk menghindari kesalahan kutipan atau eror lainnya dalam produksi berita, maka sebaiknya Pemda SBT sudah harus memulai tradisi baru dengan  membuat press release yang menjadi acuan pers untuk menulis berita.

Paling tidak, ada guide line yang bisa jadi pegangan agar awak media bisa lebih akurat membaca apa yang hendak pemerintah utrakan.

Untuk mewujudkan ini, Pemkab SBT perlu mempekerjakan orang yang tepat, yang bisa menulis dan bisa bekerja dalam urusan komunikasi publik.

Kedua, pemerintah harus berani memfasilitasi kendaraan bagi para wartawan yang bertugas di kantor Pemkab SBT agar kemana pun pemerintah melakukan kunjungan kerja, bisa diikuti oleh waratwan. Minimal ada kendaraan operasional bersama berupa mobil.

Tentu ini menguntungkan kedua pihak, dimana pemerintah mendapat ekspose yang cukup dari media, sedangkan media pun dapat berhemat anggaran ongkos liputan wartawan.

Selain itu, agar pemerintah tidak bisa ‘sambunyi’ dari media, maka kemanapun pemerintah pergi bekerja, di sana ada sorot kamera dan pena wartawan yang siap memantau dan mengikuti.

Jika dipikir lebih jauh dari realitas yang ada, memang kondisi adik-adik wartawan di SBT juga tidak maksimal dari sisi kesejahteraan. Dimana gaji dan biaya operasional peliputan tidak seberapa tapi mereka jangkauan liputan begitu luas dan mahal. Jangan-jangan gaji mereka hanya habis untuk ongkos liputan.

Ketiga, pemerintah sesekali perlu gathering atau berkumpul dengan awak media. Ya, kumpul makan-makan dan bahas hal ihwal pemerintahan dari sisi informasi publik. Jangan jadikan media dan Pemda SBT itu berjarak layaknya musuh yang saling sikat.

Toh, semua punya niatan dan andil membangun SBT, lantas kenapa tidak duduk bersama? Tentu, meski duduk bersama, independensi tak boleh luntur.

Keempat, pemda juga harus sediakan beasiswa untuk wartawan. Ini penting untuk meningkatkan mutu wartawan di SBT. Misalkan, beasiswa pelatihan bahasa asing (siapa tahu wartawan dari SBT bisa go international), atau beasiswa pelatihan jurnalistik yang bisa bekerjasama dengan AJI dan PWI Ambon, Maluku. Bila perlu, beasiswa studi lanjut S2 atau S3 bagi wartawan SBT.

Kelima, butuh sentuhan emosional kepada wartawan, semisal pemberian THR pada wartawan yang bertugas liputan di Pemda, memberikan kado ulang tahun, atau bahkan membiayai persalinan para istri dari wartawan SBT.

Bagaimanapun, wartawan adalah manusia biasa, mereka perlu disentuh dari sisi kemanusiaan pula. Hal ini sudah lumrah dilakukan instansi-instansi di Jakarta dan pemerintahan di belahan dunia lainnya tanpa menggangu independensi wartawan itu sendiri.

Semoga katong samua bisa duduk bersama dan membangun SBT tanpa tendensi apapun yang merugikan kebersamaan katong samua (***)