Selain itu, agar pemerintah tidak bisa ‘sambunyi’ dari media, maka kemanapun pemerintah pergi bekerja, di sana ada sorot kamera dan pena wartawan yang siap memantau dan mengikuti.

Jika dipikir lebih jauh dari realitas yang ada, memang kondisi adik-adik wartawan di SBT juga tidak maksimal dari sisi kesejahteraan. Dimana gaji dan biaya operasional peliputan tidak seberapa tapi mereka jangkauan liputan begitu luas dan mahal. Jangan-jangan gaji mereka hanya habis untuk ongkos liputan.

Ketiga, pemerintah sesekali perlu gathering atau berkumpul dengan awak media. Ya, kumpul makan-makan dan bahas hal ihwal pemerintahan dari sisi informasi publik. Jangan jadikan media dan Pemda SBT itu berjarak layaknya musuh yang saling sikat.

Toh, semua punya niatan dan andil membangun SBT, lantas kenapa tidak duduk bersama? Tentu, meski duduk bersama, independensi tak boleh luntur.

Keempat, pemda juga harus sediakan beasiswa untuk wartawan. Ini penting untuk meningkatkan mutu wartawan di SBT. Misalkan, beasiswa pelatihan bahasa asing (siapa tahu wartawan dari SBT bisa go international), atau beasiswa pelatihan jurnalistik yang bisa bekerjasama dengan AJI dan PWI Ambon, Maluku. Bila perlu, beasiswa studi lanjut S2 atau S3 bagi wartawan SBT.

Kelima, butuh sentuhan emosional kepada wartawan, semisal pemberian THR pada wartawan yang bertugas liputan di Pemda, memberikan kado ulang tahun, atau bahkan membiayai persalinan para istri dari wartawan SBT.

Bagaimanapun, wartawan adalah manusia biasa, mereka perlu disentuh dari sisi kemanusiaan pula. Hal ini sudah lumrah dilakukan instansi-instansi di Jakarta dan pemerintahan di belahan dunia lainnya tanpa menggangu independensi wartawan itu sendiri.

Semoga katong samua bisa duduk bersama dan membangun SBT tanpa tendensi apapun yang merugikan kebersamaan katong samua (***)