Setengah dua belas malam, baru masuk waktu Isya. Takbir taraweh pertama kali seumur hidup, sendiri di sudut kamar. Banjir air mata di setiap sujud - sujudku. Papaaaaa, ibuuuuuuu, aku rindu. Rindu sangat suasana puasa di negeriku.

Titiit...titiiit, bunyi kecil weker di hand phone  membuka mataku. Rupanya aku tertidur di atas sajadah. Cepat ku berlari siapkan sahur. Suamiku  berusaha menemani sambil belajar ikut berpuasa.

Dia yang masih terus mengenal Islam di tengah gempuran media tentang agamaku, belum mampu bertempur di medan jihad ini. Setengah hari cukup baginya sebagai pemula apalagi siang hari dengan suhu kadang mencapai 40 derajat celcius.

Malam yang begitu pendek, membuatku harus betul mengatur jadwal makan dalam waktu 5 jam saja, agar saat sahur nanti masih ada ruang sisa.

Sambil memasak makan malam, mataku terus saja mengikuti jarum jam yang  bergeser pelan meninggalkan angka enam sore. Perutku tak jua riuh memberi isyarat minta di isi. Wohoo, rasanya biasa saja. Setengah tak percaya, kubisikkan pada diriku,  "Aku akan menunggu sampai di batas kemampuanmu ".

Sekali lagi kulirik jam di dinding, sekarang sudah pukul sepuluh malam. Terik siang mulai berganti meneduhkan. Sebentar lagi awan merah berarak. Sungguh, hari itu, menunggu  maghrib bak menanti sang pangeran pujaan.

Suara adzan dari ruang makan terdengar sayup. Segelas air dan beberapa kurma sengaja ku pilih sebagai menu berbuka. Setengah tak percaya aku mampu menyelesaikan puasa di hari pertama.

Kembali sudut mataku mengalir hangat bening air. Rasa syukur membawaku melambung.  Robbi..! Kini aku percaya dengan sesungguhnya, bahwa tak akan Kau turunkan kaidah dari langit, jika hambaMu tak sanggup melewatinya.

Buat teman - teman di bisnis kuliner. Jangan pernah ragu akan rezekimu di Ramadhan, sebab rezeki setiap manusia, telah di jatah Allah setiap hari. Meskipun kalian berkutat dari pagi hingga malam, bahkan kadang waktu sholat terlewati, besar rezekimu telah ditakar. Tak akan bertambah. Tak akan berkurang.