Inggris menyerahkan kekuasaan atas Kalimantan, Sulawesi, Maluku kepada Belanda pada Jumat, 13 Juli 1946. Kemudian pada 16 Juli-25 Juli 1946 digelar Konferensi Malino. Konferensi ini menghasilkan keputusan untuk membangun ketatanegaraan baru di Wilayah Hindia Belanda dengan bentuk Negara Indonesia Serikat. Keputusan konferensi ditandatangani Tjokorda Gde Raka Sukawati, Nadjamudin Daeng Malewa, RJ. Methekohy, Asikin Noor dan Sultan Hamid II.

Di masa Negara Indonesia Timur (NIT), Mr. Dr. Chris Soumokil menjabat Menteri Kehakiman dan Jaksa dalam Kabinet Nadjamoedin Daeng Malewa II (Mei 1947-Oktober 1947), Kabinet Semuel Jusof Warrouw (Oktober 1947-Desember 1947) dan Kabinet Ida Anak Agung Gde Agung I (Desember 1947-Januari 1949).

Selain itu, pada 8 Desember 1947-17 Januari 1948, Mr. Dr. Soumokil, Raden Abdul Kadir Wijoyoatmodjo dan Dr. P.J. Koets dipilih untuk ikut dalam Konferensi Renville.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Soekarno, yang waktu itu ditunjuk sebagai Presiden RIS, mulai meleburkan RIS dan mengubahnya menjadi NKRI secara sepihak melalui keputusan-keputusan presiden. Padahal mekanisme perubahan bentuk ketatanegaraan RIS hanya boleh dilakukan melalui plebisit yang hasilnya harus diratifikasi oleh perwakilan dari tiap-tiap daerah yang bersangkutan.

Merespon situasi itu, Chris Soumokil dengan beberapa dasar pertimbangan hukum memutuskan untuk melaksanakan dengan sungguh hak untuk menentukan nasib sendiri yang sepenuhnya dimiliki penduduk Maluku Selatan.

Adapun beberapa pertimbangan hukum yang dijadikan sebagai dasar pembentukan Republik Maluku Selatan (RMS), yakni, Pertama, hubungan secara bersyarat antara wilayah Maluku Selatan dengan Negara Indonesia Timur melalui Keputusan Dewan Maluku Selatan (DMS) tertanggal 11 Maret 1947 untuk pelaksanaan kemerdekaan Maluku Selatan jika NIT tidak memperhatikan kepentingan Maluku Selatan. DMS ini merupakan parlemen Maluku Selatan dalam NIT yang merupakan hasil pemilu tahun 1946 dan pemilu tahun 1948, berkedudukan di Ambon.

Thomas Amelius Soumokil
Thomas Amelius Soumokil

Kedua, kutipan dari Muktamar Denpasar tanggal 7-24 Desember 1946, pasal 5 ayat 1 dan 2: “Negara memperkenankan kepada kelompok-kelompok rakyat untuk menentukan nasib sendiri melalui saluran demokratis dan berdasarkan peraturan yang disusun oleh Mahkota Belanda dengan permufakatan dengan negara dan kepada kelompok-kelompok tersebut yang tetap berada di wilayah Negara Indonesia Timur diberikan kebebasan untuk hidup sesuai dengan kepribadian masing-masing, dalam hal ini termasuk juga mengurus rumah tangga sendiri (ayat 1).

Dalam tindakan yang akan diambil untuk membagi-bagi wilayah negara dalam daerah-daerah otonom harus dipergunakan sebagai pedoman keinginan penduduk yang bersangkutan, hal ini merupakan suatu unsur terpenting.

Dari hasil pertimbangan secara juridis mengenai hak-hak berbagai wilayah yang membentuk NIT untuk menentukan status akhir kenegaraan mereka di dalam NIT, dimana Maluku Selatan adalah salah satu wilayah tersebut, maka dilakukan plebisit oleh DMS. Hasil plebisit itu adalah Maluku Selatan harus merdeka dan berdiri sendiri terlepas dari NIT dan dari RIS. (**)