Menjemput Senja di Negeri Para Pengrajin Kuliner, ‘Noraito Amapatti’

Pengakuan Ema Pical/Pattisahusiwa juga dikuatkan oleh ibu raja (nyora) Negeri Iha Mahu Tail Rubekha Ruth yang mengaku geliat home industry di negeri itu sudah didorong menjadi lebih modern.
“Semua produk berupa bagea dan sarut (olahan pati sagu) sudah ditata dengan melakukan pendekatan modern. Misalnya, memiliki izin halal dari Majelis Ulama Indonesia dan juga izin dari instansi terkait,” bebernya.
Ekspansi aneka kue sagu yang dihasilkan para pengrajin di Iha Mahu membuat sejumlah pihak ikut serta dalam upaya pengembangannya.
Sebut saja pada November 2020, sejumlah ibu di Negeri Iha Mahu juga diikutkan dalam pelatihan cara menambah nilai produk yang diinisiasi oleh Walang Perempuan.
Salah satu lembaga pemberdayaan masyarakat yang fokus pada peningkatan ekonomi perempuan. Sebanyak 25 ibu rumah tangga dan sebagian pria dari Desa Ihamahu berkumpul membentuk kelompok usaha.
Mereka punya tugas berbeda. Para lelaki membuat sagu tumang sebagai bahan baku kue tradisional. Sementara para ibu mengumpulkan kenari dari petani di kampung dan mengolah sagu tumang menjadi aneka kue.

Obe Leatemia salah seorang pengrajin mengaku dia membuat kue dengan peralatan yang digunakan turun-temurun.
Satu alat yang paling berjasa dalam proses pembuatan kue bernama porna.
"Porna berfungsi seperti oven. Kami memakainya turun-temurun sejak tahun 1965," kata Obe seperti dikutip Tempo, Selasa 15 Desember 2020.
Obe memasok kue tradisional itu ke para pelanggan tetapnya di Kota Ambon dan Kecamatan Saparua.
Mereka mengambil dagangan Obe kemudian menjualnya lagi. Sekantong kue bagea dan kue sarut seharga Rp 10 ribu, kue sagu tumbu Rp 5.000. Di Ambon, harga kue ini dijual dengan selisih Rp 5.000 - 10 ribu lebih tinggi.