BERITABETA.COM, Ambon — Untuk kedua kalinya Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, menetapkan Kabupaten Seram Bagian Timur [SBT] sebagai daerah dengan pelayanan publik di bawah standar atau zona merah.

Lebel serupa pernah diberikan Ombudsman pada tahun 2019 silam. Kabupaten SBT saat itu juga ditetapkan dengan  tingkat kepatuhan rendah yaitu peringkat ke-3 terburuk se-Indonesia untuk penilaian tingkat kabupaten.

Status zona merah pelayanan publik ini tahun 2021 ini, diungkap Kepala Tim Bidang Pencegahan Maladministrasi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, Semuel Hatulely dalam rilisnya yang diterima beritabeta.com, Rabu (16/3/2022).

Semuel membeberkan, pelayanan publik di SBT pada 2019 lalu dinilai sesuai undang-undang pelayanan publik yang melibatkan 12 Organisasi Perangkat Daerah [OPD] mendapat nilai 13,48, sehingga dikategorikan zona merah.

"Sedangkan pada 2021, Kabupaten Seram Bagian Timur tetap berada di zona merah walau terjadi kenaikan nilai yaitu 35,53," ungkap Semuel Hatulely.

Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD SBT M. Umar Gasam menerangkan, pada 14 Maret 2022 lalu Komisi A DPRD Kabupaten SBT telah melakukan kunjungan kerja [Kunker] ke Kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku di Kota Ambon.

Gasam mengaku, dalam pertemuan tersebut, Kepala Tim Bidang Pencegahan Maladministrasi, Semuel Hatulely membeberkan tentang pelayanan pemerintahan di Provinsi Maluku yang menempatkan SBT berada pada urutan ke-10 dari 11 kabupaten/kota dengan zona merah.

"Yang disampaikan memang benar, bahwa pelayanan pemerintahan di Maluku dari 11 kabupaten/kota, SBT termasuk zona merah dan SBT berada pada urutan ke-10 dari 11 kabupaten/kota," ucap M. Umar Gasam.

Untuk itu, dia meminta agar Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas segera melakukan tindakan yang lebih konkret, dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh kepada Kepala Organisasi Perangkat Daerah [OPD].

Menurutnya, banyak Kepala OPD di lingkup Pemerintah Kabupaten [Pemkab] SBT hanya melakukan rekayasa terhadap kinerja mereka dalam memimpin satu OPD, namun realitas di lapangan jauh dari pada yang diharapkan.