Oleh: Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy (Dosen Psikologi dan Peneliti di Pusat Studi Masyarakat Kepulauan IAIN Ambon)

Membangun demokrasi di Indonesia tanpa partai politik pasti mengalami jalan buntu. Hal ini karena kehadiran partai memungkinkan demokrasi dapat berjalan lebih substantif. Inilah yang menjadi spirit ketika Indonesia merdeka hingga pasca reformasi sekarang ini. 

Sejak Indonesia merdeka, demokrasi berjalan sangat substansial, namun lumpuh ketika dikeluarkannya dekrit presiden tahun 1959. Pada masa orde baru, demokrasi semakin mengalami jalan buntu ketika diterapkannya fusi dua partai dan satu golongan perwakilan.

Situasi ini yang kemudian memunculkan gerakan reformasi tahun 1998. Tujuan reformasi adalah mengharapkan diterapkannya demokrasi yang lebih substantif yakni demokrasi perwakilan. 

Pasca reformasi tahun 1998, sontak situasi ini memungkinkan munculnya banyak golongan mendirikan partai-partainya sendiri. Kehadiran banyaknya partai ini menunjukkan bahwa suasana partisipasi publik di ruang demokrasi di Indonesia mendapat angin segar pasca reformasi.

Dengan kata lain, demokrasi melalui kehadiran banyak partai sangat bernilai positif sekarang ini. Namun, situasi ini tak selalu berjalan maksimal. Faktanya, sebagian partai politik dan terkhusus aktor politik di dalamnya justru menjadi perusak demokrasi itu sendiri. 

Partai-partai yang hadir sekarang ini tidak selamanya dijalankan secara rasional dan terlembaga secara baik. Kehadiran partai saat ini malah menjadi benalu bagi demokrasi sekarang ini.

Karakteristik partai yang rasional dan terinstitusional adalah selalu menempatkan aturan dan moralitas di atas segala-galanya. Selain itu, di internal partai juga telah mengalami depersonalisasi, yakni kepentingan sebagian kecil individu di dalam kepengurusan tidak sejalan dengan kepentingan organisasi partai.

Saat ini, hampir sebagian besar partai dikelola secara oligarkis, bahkan gerak politik justru banyak ditentukan elit-elit partai. 

Akibat dari semua itu adalah kehadiran partai sekarang ini pasca reformasi sangat mengecewakan. Kekecewaan publik terhadap sebagian besar partai itu dapat kita lihat dari hasil survei yang dilakukan Kompas dari tahun 1999-2014.

Ada lima aspek yang membuat publik kecewa. Pertama, kehadiran partai tidak dapat menjadi penyalur aspirasi rakyat secara sustainable (keberlanjutan). Aspirasi rakyat hanya didengar partai saat menjelang Pemilu saja. Selepas itu, aspirasi rakyat bagaikan kain keset yang dibuang begitu saja setelah dipakai. 

Kedua, partai gagal menjadi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Partai-partai hanya mementingkan target-target politik jangka pendek, bukan strategi jangka panjang.

Seharusnya, semua partai baik itu oposisi maupun diluar oposisi idealnya harus menjadi pengontrol jalannya pemerintahan. Sehingga, ketika pemerintah berjalan tidak sesuai nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, maka partai harus menegurnya bukan membiarkannya. Ini yang diharapkan masyarakat Indonesia sekarang ini. 

Ketiga, kaderisasi anggota partai yang lemah. Proses kaderisasi harus berupaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai anti korupsi, mengupayakan kesejahteraan umum, dan penegakkan keadilan sosial, sesuai tujuan berdirinya partai.

Saat ini, lembaga-lembaga politik justru menjadi episentrum dari praktik-praktik korupsi yang dilakukan aktor-aktor politik partai. Hal ini yang membuat masyarakat kecewa.

Olehnya itu, proses kaderisasi harus berjalan maksimal yakni menghadirkan aktor-aktor politik profesional dan punya idealisme kuat. Jika proses kaderisasi ini lemah, maka korupsi dan hal-hal negatif lainnya akan muncul di ruang-ruang demokrasi sehingga rakyat semakin kecewa terhadap partai. 

Keempat, pendidikan politik masyarakat yang lemah. Ini juga membuat masyarakat kecewa. Pendidikan politik harus dilakukan tanpa janji-janji palsu dan 'money politic'.

Politik uang merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan sekarang ini. Politik uang telah menjadi benalu bagi suksesnya demokrasi perwakilan berjalan substantif, dan itu merupakan buah negatif dari reformasi.

Selain itu, janji-janji politik yang jarang direalisasikan menjadi kebohongan semakin mengeraskan kekecewaan publik terhadap partai politik.

Olehnya itu, pendidikan politik yang ideal adalah memberikan masyarakat harapan dan realisasi janji pembangunan tanpa uang politik. Upaya ini yang dapat membuat masyarakat tidak kecewa terhadap partai politik. 

Kelima, penempatan wakil "berkualitas" di lembaga-lembaga politik seperti DPR tanpa mempertimbangkan animo serta harapan masyarakat. Wakil "berkualitas" yang dipilih partai seolah-olah 'taken for granted' dan sekedar memenuhi aspek prosedural namun kering substansial.

Hal ini yang kemudian memunculkan realisasi program jauh dari harapan rakyat, sehingga rakyat semakin kecewa bukan hanya terhadap perwakilan tersebut melainkan juga pada partainya. Idealnya partai harus menghadirkan perwakilan berkualitas yang selaras dengan animo serta harapan rakyat di akar rumput. 

Kelima aspek itu yang membuat masyarakat kecewa terhadap partai politik sekarang ini, dan cenderung antipati mengikuti pesta demokrasi alias Golput di masa mendatang.

Golput merupakan tantangan tersendiri bagi suksesnya jalannya demokrasi. Olehnya itu, pertanyaannya adalah bagaimana solusinya? Bagaimana mengembalikan kepercayaan publik terhadap partai politik?

Kekecewaan yang timbul dari masyarakat terhadap partai politik adalah karena sistem lingkungan di dalam partai yang diterapkan terlalu dominan ke arah negatif. Karena itulah, solusinya bukan memperbaiki situasi lingkungan demokrasi di luar partai, melainkan sistem lingkungan demokrasi di dalam tubuh partai itu sendiri.

Perubahan sistem lingkungan di dalam tubuh partai akan berimplikasi pada perubahan perilaku anggota partai. Hal ini yang nantinya membuat sistem demokrasi berjalan maksimal dan lebih substantif di Indonesia, sehingga membuat masyarakat tidak kecewa terhadap partai. 

Ada dua area yang semestinya harus diperbaiki dan diterapkan sehingga terbentuk sistem lingkungan demokrasi di dalam tubuh partai. Pertama, setiap partai harus menerapkan sistem lingkungan demokrasi saat memilih kandidat yang nantinya mau dijadikan pejabat publik.

Proses pemilihan harus melibatkan semua pihak, bukan hanya pengurus partai apalagi elit oligarki, tapi juga partisipasi masyarakat pemilih. Hal ini yang membuat proses saling koreksi berjalan efektif sebelum memutuskan siapa kandidat yang paling ideal yang nantinya hadir di tengah-tengah masyarakat menjadi pejabat publik. Dengan kata lain, 'public figure' yang dihadirkan partai tidak melalui proses yang instan, melainkan lebih substantif.

Kedua, partai harus menghadirkan sistem lingkungan yang lebih demokratis dalam suksesi kepemimpinannya. Fakta di lapangan, pimpinan partai politik selalu dipegang elit-elit oligarki, bahkan tak jurang juga pimpinan partai tidak punya masa jabatan.

Partai selalu dipimpin oleh seorang yang tidak pernah tergantikan. Bahkan, setiap kali pemilihan pimpinan partai selalu muncul kandidat tunggal. Sistem lingkungan seperti ini yang harus diubah.

Idealnya, dalam suksesi pimpinan partai harus melibatkan juga pertimbangan masyarakat, bukan hanya internal pengurus partai. Perubahan sistem lingkungan seperti ini yang memungkinkan masyarakat percaya terhadap partai politik. 

Mungkin, hanya dua area itu saja yang perlu diperbaiki dalam sistem lingkungan partai politik sekarang ini jika mau mengembalikan kepercayaan publik terhadap partai dan aktor-aktornya.

Dua aspek itu dapat berjalan maksimal apabila semua unsur sadar akan kepentingan bersama demi mencapai cita-cita demokrasi di Indonesia. Salah satu cita-cita demokrasi di Indonesia adalah realisasi kebijakan dan program yang lebih berorientasi pada kebahagiaan bersama bukan kebahagiaan parsial. Sekian (*)