BERITABETA.COM, Ambon –   Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) pemerintah terkait gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok yang diajukan para korban kerusuhan Maluku pada 1999, akhirnya mulai disikapi pemerintah.

Persoalan ini dibahas dalam Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) tingkat menteri secara virtual yang ikut dihadiri Wakil Gubernur Maluku, Barnabas Nathaniel Orno di Kantor Gubernur, Kamis (05/08/2021).

Rakorsus tersebut dipimpin langsung Menko Polhukam Mahfud MD dan diikuti beberapa Kementerian, antara lain Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dan Mendagri Tito Karnavian.

Dalam Rakorsus tersebut, pemerintah telah menyepakati pembayaran ganti rugi sebesar Rp 3,9 triliun kepada pengungsi korban kerusuhan di Maluku sebanyak 213.217 kepala keluarga (KK).

Wagub Maluku Barnabas Orno dalam kesempatan itu, meminta proses pendataan warga penerima harus memiliki keterangan valid dari Pemda hingga di tingkat RT/RW.

“Mereka yang menjadi penerima ganti rugi korban konflik di Maluku ini harus benar-benar adalah korban kerusuhan,”pinta Wagub Maluku.

Menurut Wagub, Pemprov Maluku pada prinsipnya tetap patuh terhadap keputusan MA. Namun saat akan dilakukan pembayaran, pemerintah sebaiknya memiliki data valid tentang penerima ganti rugi.

“Hal itu untuk mengantisipasi adanya aduan dari sejumlah oknum tertentu atau para korban konflik menyangkut sudah atau belum terteranya nama mereka sebagi penerima ganti rugi,” tandasnya.

Mantan Bupati MBD itu juga mengusulkan, perlu adaanya pertimbangkan secara teknis sebelum dilakukan pembayaran.

Semnetara itu, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar mengungkapkan, pihaknya sedang menyiapkan dokumen prihal proses bayar ganti rugi kepada korban tragedi kerusuhan Maluku.

"Kami siap untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan untuk ikut mendukung percepatan dan keberhasilan pelaksanaan tindaklanjut pengadilan ini," katanya.

Untuk diketahui, dana sebesar Rp 3,9 triliun yang harus dibayar pemerintah itu terdiri dari bahan bangunan rumah (BBR) sejumlah Rp 15 juta dan uang tunai Rp 3,5 juta untuk setiap warga pengungsi korban konflik.

Adapaun Kerusuhan Maluku yang dimaksud adalah konflik etnis-politik yang melibatkan agama di kepulauan Maluku, khususnya pulau Ambon dan Halmahera, konflik ini bermula pada era Reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002.

Penyebab utama konflik ini adalah ketidakstabilan politik dan ekonomi secara umum di Indonesia setelah Soeharto tumbang dan rupiah mengalami devaluasi selama dan seusai krisis ekonomi di Asia Tenggara (BB-DIO)