Oleh : Julius R. Latumaerissa (Ekonom dan Pemerhati Kebijakan Pembangunan Maluku)

Perkembangan Kemiskinan

KEMISKINAN  Maluku, bukan saja masalah ekonomi tetapi juga masalah sosial dan politik, sehingga diperlukan penanganan secara cepat dan tepat melalui perencanaan terintegrasi dan komprehensif. Kemiskinan umumnya diukur dengan melihat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).

Dengan pendekatan moneter ini, maka kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan yaitu nilai rupiah yang harus dikeluarkan oleh seseorang dalam satu bulan untuk kegiatan konsumsinya.

Maluku sebagai wilayah kepulauan sampai saat ini masih berada pada rengking kemiskinan ke-empat di Indonesia, sekalipun Maluku memiliki kekayaan SDA yang melimpah.

Diketahui data BPS menunjukan bahwa pada Maret 2011 persentasi kemiskinan Maluku 23,00% dengan tingkat kesenjangan pengeluaran penduduk miskin (P1) sebesar 4,99% dan tingkat kesenjangan dinatara kelompok masyarakat miskin (P2) sebesar 1,54%. pada September 2011 persentasi kemiskinan Maluku 22,45% dengan tingkat kesenjangan pengeluaran penduduk miskin (P1) sebesar 4,60% dan tingkat kesenjangan dinatara kelompok masyarakat miskin (P2) sebesar 1,34%.

Dalam kurun waktu satu dekade, perkembangan kemiskinan Maluku yang dicatat oleh BPS adalah pada Maret 2019 persentasi kemiskinan (P0) Maluku 17,69% dengan tingkat kedalaman kemiskinan (P1) sebesar 3,32%, dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) sebesar 0,02%. Pada September 2019 persentasi kemiskinan Maluku turun 17,65% dengan tingkat kedalaman kemiskinan (P1) sebesar 3,74% dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) sebesar 1,11%, sebagaimana tergambar pada Grafis-3 dibawah ini

Tingginya angka kedalaman kemiskinan (P1) Maluku baik pada periode Maret dan September 2019 masing-masing 3,32% dan 3,74% mengindikasikan tingkat ketimpangan antara orang miskin dan orang tidak miskin sangat besar, sebaliknya rendahnya tingkat keparahan kemiskinan (P2) maluku pada periode Maret dan September 2019, masing-masing 0,02% dan 1,11% mengindikasikan bahwa tingkat kesenjangan di antara sesama masyarakat miskin mengalami perbaikan atau rendah, namun pada periode ini terjadi pelebaran kesenjangan ditandai dengan naiknya nilai P2 dari 0,012% Maret 2019 menjadi 1,11% September 2019.

BPS: beberapa penerbitan, diolah

Jika dilihat menurut tempat tinggal maka pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin perkotaan di Maluku 51,60 orang dari 328.41 orang miskin, dan daerah pedesaan sebesar 276.64 orang. Pada September 2015 jumlah penduduk miskin perkotaan di Maluku 51,77 orang dari 327.78 orang miskin, dan daerah pedesaan sebesar 276.17 orang.

Selanjutnya pada Maret 2019 jumlah penduduk miskin perkotaan di Maluku 45,60 orang dari 317.69 orang miskin, dan daerah pedesaan sebesar 272.09 orang. Pada September 2019 jumlah penduduk miskin perkotaan di Maluku 48,15 orang dari 319.51 orang miskin, dan daerah pedesaan sebesar 271.37 orang.

Sekanjutnya jika dilihat persentasi kemiskinan maka pada Maret 2015 persentasi penduduk miskin perkotaan di Maluku 7,91%, dan daerah pedesaan sebesar 26,90%. Pada September 2015 persentasi penduduk miskin perkotaan di Maluku 7,83%, dan daerah pedesaan sebesar 26,70%.

Selanjutnya pada Maret 2019 persentasi penduduk miskin perkotaan di Maluku 5,84%, dan daerah pedesaan sebesar 26,83. Pada September 2019 persentasi penduduk miskin perkotaan di Maluku 6,09%, dan daerah pedesaan sebesar 26,63%.

Dari informsi data di atas maka dapat dikatakan bahwa kondisi kemiskinan Maluku belum tertangani dengan baik sekalipun bertendensi menurun dari waktu-ke waktu dengan tingkat penurunan yang kecil, hal ini disebabkan oleh banyak variabel baik ekonomi maupun variabel non-ekonomi antara lain :

Potret Kesejahteraan Masyarakat Maluku

Tingkat kesejahteraan suatu daerah selalu berbarengan dengan masalah kemiskinan. Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat maluku, maka indikator yang digunakan adalah Indeks Gini (Gini Ratio) yaitu rasio untuk melihat kesejangan miskin dan tidak miskin. Pada tahun 2019 Gini Ratio Maluku sebesar 0,320 lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2018 yaitu 0,326

Turunnya nilai Gini Ratio ini menggambarkan tingkat kesenjangan antara orang miskin dengan tidak miskin semakin kecil atau semakin membaik. Hal ini berbanding serah dengan pertambahan penduduk miskin di pedesaan yang mendorong naiknya tingkat kedalaman kemiskinan (P1) dan tingkat keparahan kemiskinan (P2). Dititik inilah terlihat hbungan antara kemiskinan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Maluku.

Selain itu pendapatan perkapita juga menjadi salah satu indikator yang menjelaskan kesejahteraan masyarakat Maluku. Pada periode TW IV-2019 tercatat pendapatan per kapita (income per capita) sebesar Rp. 2.2 juta, per orang setiap bulan, lebih rendah dari upah minimum Maluku pada periode yang sama Rp. 2,6 juta.

Jika dilihat dari sisi pengeluaran konsumsi masyarakat setiap bulan di Maluku, maka diketahui bahwa konsumsi makan per bulan sebesar Rp. 507.218 dan konsumsi bukan makanan sebesar Rp. 495.021.

Dengan demikian maka kita simpulkan bahwa kemiskinan Maluku masih besar dan mengakar di maluku, ditandai dengan masih besarnya pola konsumsi makan melaui pengeluaran konsumsi per bulan jika dibandingkan dengan konsumsi bahan Non-makan.

Disamping itu nilai tukar petani (NTP) gabungan Maluku TW IV 2019 tercatat 100,12 sedikit lebih besar dari NTP gabungan maluku TW III-2019 yaitu 99,93. Naiknya NTP gabungan ini disebabkan angka indeks diterima petani sedikit lebih besar 136,69 dari indeks yang dibayar petani 136,52. Turunnya indeks dibayar petani ini disebabkan karena rendahnya hasil produksi sektor pertanian.

Di sisi lain sektor pertanian merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja aktif, dengan produktivitas yang rendah, akan diikuti dengan rendahnya hasil produksi pertanian dan pendapatan yang diperoleh dari sektor ini juga. Rendahnya pendapatan per kapita akan mempengaruhi pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) masyarakat Maluku.

Perkembangan Indikator Sosial Ekonomi Lainnya

Disamping beberapa indikator utama di atas maka saya perlu menyampaikan beberapa indikator sosial-ekonomi yang lain yang dapat menggambarkan tingkat perkembangan kemajuan ekonomi Maluku sebagai gambaran kinerja pemerintah daerah maluku baik kemarin maupun saat ini.

1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Salah satu indikator penting juga adalah indeks pembangunan manusia (IPM). IPM adalah suatu indikator yang menjelaskan bagaimana manusia dapat mengakses hasil pembangunan, baik pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Pentingnya IPM adalah sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan suatu daerah dan juga digunakan oleh pemerintah pusat untuk menentukan besaran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) suatu daerah.

Data BPS diketahui IPM Maluku tahun 2019 sebesar 69,45% yang tidak lain adalah status IPM yang menggambarkan tingkatan pencapaian pembangunan manusia pada suatu periode dengan tingkat pertumbuhan 0,84 dari tahun 2018 yaitu 68,87. Secara nasional dengan capaian IPM 69,45 menempatkan maluku pada urutan ke-26 dari 34 Provinsi suatu level yang sangat jauh dari yang diharapkan. Dengan status capaian IPM Maluku 69,45 berarti Maluku masih dikategorikan sedang, dan ini masih tetap sama sejak tahun 2010 sampai sekarang.

2. Indeks Pembangunan Desa (IPDes)

Indikator yang lain adalah Indeks Pembangunan Desa (IPDes) merupakan indeks komposit tertimbang dari 42 indikator yang secara subtansi dan bersama-sama menggambarkan tingkat pembangunan di desa (IPDes). IPDes Maluku meningkat dari 46,74 pada tahun 2014 menjadi 51,13 pada tahun 2018, atau meningkat 4,39 poin.

Rata-rata nilai Indeks Pembangunan Desa (IPDes) di Provinsi Maluku Tahun 2018 sebesar 51,13, lebih rendah dari angka rata-rata Indeks Pembangunan Desa (IPDes) secara Nasional sebesar 59,36. Dari total sebanyak 11 Kabupaten/Kota, rata-rata nilai IPD tertinggi adalah Kota Ambon dengan rata-rata sebesar 71,88 dan terendah adalah Kabupaten Kepulauan Aru yaitu sebesar 41,51

Untuk nilai rata-rata Nilai Indeks Pembangunan Desa paling rendah ada di Kabupaten Kepulauan Aru. Jumlah desa di kabupaten ini sebanyak 117 desa yang terdiri dari 98 desa (83,76 %) dalam kategori desa tertinggal, 19 desa (16,24 %) dalam kategori desa berkembang, dan tidak ada desa dalam kategori desa mandiri.

Kabupeten yang memiliki jumlah desa tertinggal paling banyak terdapat di Kabupaten Maluku Tenggara dengan jumlah desa tertinggal sebanyak 123 desa mengalami peningkatan sebanyak 7 desa dibandingkan tahun 2014. Sedangkan jumlah desa mandiri paling banyak terdapat di Kota Ambon dengan jumlah desa mandiri sebanyak 12 desa, meningkat 5 desa jika dibandingkan tahun 2014.

Jumlah desa di Provinsi Maluku sebesar 1.202 desa, 558 desa (46,42%) diantaranya dalam kategori desa tertinggal. Sebanyak 613 desa (51,00 %) dalam kategori desa berkembang, dan sisanya sebanyak 31 desa (2,58 %) dalam kategori desa mandiri. Provinsi Maluku memiliki nilai rata-rata indeks dengan ketegori tertinggal yakni pada dimensi pelayanan dasar (48,84); dimensi kondisi infrastruktur (33,22); dan dimensi pelayanan umum (46,93).

Berdasarkan kondisi di atas maka diketahui bersama bahwa pada tahun 2015 pemerintah Pusat menetapkan delapan Kabupaten di Maluku sebagai daerah tertinggal melalui peraturan presiden 9perpres No. 131 Tahun 2015 dan pada tahun 2020 melalui peraturan presiden (Perpres0 No. 63 Tahun 2020, kembali menetapkan lima Kabupaten di Maluku sebagai daerah tertinggal.

Ini berarti selama kurun waktu lima tahun terakhir banyak kepala daerah di Maluku gagal untuk membangun daerahnya dan masyarakatnya sendiri, sehingga kondisi ini berkontribusi langsung kepada potret buruk ekonomi Maluku.

Kesimpulan

Dari uraian saya di atas maka saya tiba pada kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan dari berbagai indikator sosial ekonomi di atas menunjukan bahwa belum ada kemajuan yang signifikan dari proses pembangunan di Maluku, hal itu ditandai dengan PDRB Maluku dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang menurun setiap tahun, dan tingkat pertumbuhan yang rendah baik triwulan maupun tahunan.

  1. Masalah pengangguran masih menjadi persoalan yang serius dan belum tertangani dengan baik, sebagai akibat rendahnya kesempatan kerja dan terjadi perbandingan yang negatif dimana penambahan penduduk bekerja masih diikuti dengan lambannya kesempatan kerja.
  2. Angka pengangguran di pedesaan di Maluku reltif tinggi jika dibandingkan dengan desa, dan jika dilihat menurut jenis kelamin maka angka pengangguran perempuan di Maluku lebih tinggi dari penduduk laki-laki.
  3. Seperti halnya pengangguran, maka masalah kemiskinan juga merupakan masalah serius yang perlu ditangani dengan bauran kebijakan yang tepat. Karena sekalipun secara numerik angka kemiskinan selama satu dekade cendrung menurun, tetapi penurunan itu tidak memperbaiki tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan di Maluku sehingga kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat masih rendah.
  4. Dilihat dari besarnya tingkat kesenjangan atau ketimpangan dalam masyarakat, maka indeks gini (gini rasio) Maluku masih dikategorikan rendah namun dibarengi dengan meningkatnya masyarakat miskin di pedesaan
  5. Turunnya NTP gabungan Maluku di bawah 100 menunjukan bahwa petani maluku masih mengalami kerugian karena indeks diterima petani lebih kecil dari indek yang dibayar petani. Kondisi ini terjadi karena rendahnya produktivitas sektor pertanian.
  6. Capaian IPM Maluku 69,45 pada tahun 2019, namun posisi Maluku secara Nasional ada di urutan 26 dari 34 Provinsi dan masuk kategori sedang. Posisi ini tetap bertahan selam kurang lebih satu dekade atau selama 10 tahun terakhir, berarti pembangunan manusia Maluku selama periode ini belum memberikan hasil yang signifikan.
  7. Dala pembangunan pedesaan selama ini IPDes Maluku 51,13 lebih kecil dari IPD Nasional 59,36. Desa tertinggal di Maluku sampai tahun 2018 adalah 558 desa (46,42%), Desa berkembang sebesar 613 desa (51,00 ) dan desa mandiri sebesar 31 desa (2,58 %).
  8. Provinsi Maluku memiliki nilai rata-rata indeks dengan ketegori tertinggal yakni pada dimensi pelayanan dasar (48,84); dimensi kondisi infrastruktur (33,22); dan dimensi pelayanan umum (46,93).

Dari kesimpulan di atas perlu saya ingin katakan dan mengakui bahwa semua pembangunan selama ini menunjukan adanya perbaikan di semua dimensi kehidupan masyarakat. Namun bukan berarti pembangunan Maluku sudah berhasil untuk menjawab problematika masyarakat, khususnya dalam rangka membangun manusia maluku yang sehat, edukated dan berkualitas.

Terjadi pelambatan dalam roda perekonomian Maluku selama ini harus dicari solusi yang konkrit dari pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten/Kota yang ada di maluku. Karena itu pembangunan ekonomi harus diimbangi dengan pembangunan politik di maluku sehingga kedua variabel ini bersinergi menjadi satu kekuatan besar dalam percepatan pembangunan di maluku.

Dalam kaitan ini maka saya mengharapkan agar siapapun dia sebagai Pengamat dan akademisi dapat melakukan kajian, studi yang bersifat komprehensif ataupun parsial terhadap proses pembangunan maluku dalan menyampaikan kepada masyarakat dan pemerintah daerah secara jujur dan bebsa nilai.

Kalau kita semua inginkan agar pemerintahan Murad-Orno berhasil dalam mewujudkan Visi-Misinya untuk membangun Maluku, kita harus secara jujur berkata, sehingga hal itu menjadi suatu masukan yang konstruktif bagi pemerintahan Murad-Orno ke depan

Secara jujur saya mau katakan bahwa indikator sosial ekonomi yang dicapai Maluku saat ini, terlepas dari baik-buruknya, itu bukan gambaran kinerja pemerintahan Murad-Orno, karena mereka baru satu tahun (24 April 2019 – 24 April 2020) menjalankan pemerintahannya.

Dan yang selama ini dilakukan Murad-Orno adalah hal-hal yang masih bersifat kebijakan semata dan kebijakan tersebut lebih bersifat kebijakan politis. Saya belum melihat pemerintahan Murad-Orno membuat kebijakan-kebijaka ekonomi yang populis dan spektakuler untuk membangun ekonomi Maluku sehingga memberikan dampak yang sistimatis dan masif bagi perekonomian Maluku.

Oleh karena itu sebagai pengamat atau akademisi mari kita membantu pemerintahan Murad-Orno untuk membangun Maluku, secara bersama-sama sekalipun itu hanya bersifat konsep pemikiran, karena Murad-Orno saja yang memiliki kewenangan eksekusi, dan kita punya kewajiban bersama untuk memberikan dukungan positif, bukan dengan peniaian-penilaian yang ‘Asal Bapak Senang” (selesai)