Perjalanan Religi, dari Maraina - Manusela di Kaki Gunung Murkele
Catatan : Pdt. Rudy Rahabeat
“Jangan bilang diri anak negeri Maluku, jika belum datang di kaki gunung Murkele”.
Sepanggal kalimat yang menyembul dari celah-celah pepohonan, ketika kami melintasi jalan-jalan penuh lumpur liat menuju negeri Maraina di bentangan pegunungan Seram Utara.
Sore itu matahari sudah mulai tenggelam. Udara dingin menyelimuti tubuh-tubuh yang letih seharian berjalan dari negeri Hatuolo. Sepuluh jam berjalan kaki dengan irama normal.
Kami bertolak dari Hatuolo pukul 07.30 tiba 17.30. Hatuolo sendiri berarti negeri di lorong batu (hatu artinya batu, olo artinya celah, lorong). Ada dua bukit batu yang mengapit negeri yang terdiri dari hampir 30 kepala keluarga itu.
Butuh tiga hari perjalanan dari Wahai Seram Utara sebelum tiba di Maraina. Dari kota Wahai kami menumpangi mobil Hilux dua jam tiba di negeri Kaloa, setelah itu berjalan kaki di hamparan lumpur, empat jam menuju negeri Elemata. Kami bermalam di Elemata.
Keesokan harinya kami berjalan kaki lebih dari lima jam ke negeri Hatuolo, bermalam di situ sebelum esok paginya menuju negeri Maraina. Tiba di Maraina kami disambut oleh tetua adat yang menyampaikan Kapata selamat datang. Lalu dikalungkan Lopalopa, tas kecil yang terbuat dari pelepah sagu.
Selanjutnya, sebelum suguhan tarian Cakalele, disajikan sirih pinang dan paduan suara perempuan Maraina menyanyi diiringi tabuan tifa dan petikan gitar. “Slamat datang di negeri kami di pegunungan, negeri indah dan permai” syair itu mengalun di saat kabut menyelimuti gunung Murkele.
Kami memandangi gunung maghis itu sembari membayangkan kata-kata Pemazmur 121. “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung. Dari manakah akan datang pertolonganku?”.
Sang Pemazmur menjawab “Pertolonganku adalah dari TUHAN yang menciptakan langit dan bumi”.
Malam itu kami tidur di pastori. Pastori beratap zenk, berdinding papan dan lantainya terbuat dari pelepah bambu. Jika berjalan bunyi berderik. “Maaf, jika pagi-pagi ada bunyi berderik, sebab ibu-ibu hendak menyiapkan sarapan” ungkap Pdt Harris Jahawadan, Ketua Majelis Jemaat GPM Maraina.
Ia sudah hampir lima tahun melayani di jemaat ini. Keesokan harinya, hari Sabtu kami berjalan kaki ke Jemaat Manusela. Sekira 30 menit kami sudah tiba. Ada gapura kecil bertuliskan Selamat Datang Peserta Konperda AMGPM Seram Utara.
Sekum PB, Pdt Richard Resley bersama dua Pengurus Besar Bung Buce Taberima dan Bung Jover Frans sudah ada di sana hampir sepekan. Mereka menghadiri Konperda yang memilih Pdt Hein Tualena sebagai KeDa (Ketua Daerah) yang baru menggantikan Pdt Petrus Tauran.
Di Manusela saya mengunjungi SD YPPK Dr J.B Sitanala. “Sekolah ini sudah didirikan sejak tahun 1913, sebelum Indonesia merdeka” ungkap Bpk H Lilihata, kepala sekolah yang sudah bertugas lebih dari dua puluh tahun di sekolah milik GPM ini.
Ia mengharapkan adanya dukungan yayasan pusat terkait sarana prasarana dan tenaga guru. Saya juga menjumpai Raja Manusela dan berdiskusi di kantor negeri yang letaknya di ujung negeri. Selain itu bertemu Majelis Jemaat GPM Manusela bersama Ketua Majelis Jemaatnya Pdt Vargo Manduapessy, M.Th.
Maraina dan Manusela merupakan dua negeri bertetangga. Dibanding Manusela, Maraina mungkin tidak sepopuler Manusela. Selain nama Taman Nasional Manusela yang sohor itu, Manusela juga merupakan salah satu pusat kendali kolonial Belanda di pegunungan Seram. Namun begitu, Maraina dan Manusela tetaplah merupakan dua negeri adat yang patut diperhitungkan jika hendak menelisik jalur-jalur adat budaya.
Pendeta Hantam memberi nama untuk anak lelakinya, MARSEL, yang artinya Maraina-Manusela. Sebuah jejak simbolik yang hendak menegaskan relasi kedua negeri di kaki gunung Murkele itu.
Saat pembukaan Sidang ke-52 Klasis GPM Seram Utara pada hari Minggu, 30 Mei 2021 Ketua Klasis Seram Utara, Pdt Jems Elath menyampaikan rasa kagum dan terima kasih kepada jemaat dan negeri Maraina.
Ia menyatakan bahwa gereja terpanggil untuk terus mendorong pendidikan dan pemberdayaan ekonomi bagi jemaat-jemaat di pegunungan dan Seram Utara pada umumnya.
Raja Negeri Maraina Pieter Ilela dalam sambutannya mengharapkan adanya kerjasama yang baik dari gereja dan pemerintah untuk bersama-sama mengusahakan kesejahteraan jemaat dan masyarakat.
“Pemerintah itu ibarat Bapa sedangkan gereja itu Mama. Kerjasama Bapa-Mama itu sangat menentukan”ungkapnya.
Sidang Klasis ini dihadiri para pendeta dan penatua-diaken, jumlahnya hampir 80 orang. Ada 3 orang perempuan pendeta yang hadir yakni Pdt Ellen Titing, Pdt Mira Manuputty dan Pdt Dian Seipatiseun.
“Mereka ini perempuan-perempuan hebat, bisa tembus sampai di Maraina” ungkap Bapak Gayus, Ketua Panitia Sidang Klasis.
Udara di Maraina terasa dingin. Tak ada polusi udara. Pepohonan rimbun, air mengalir jernih mengitari negeri Maraina. Suara burung masih terdengar riuh. Demikian pula pemandangan ke puncak Murkele selalu memukau. Gedung gereja Maraina diberi nama Beth Eden, terbuat dari empat unsur alam: daun atap sagu, bambu, rotan dan kayu.
Sangat alami. Saya lalu ingat kidung Dua Sahabat Lama “Indah sebagai di Eden, pada permulaan. Hutan dan rimba berbunga, tampak sedap senang”. Tapi saya juga sadar bahwa Eden yang indah itu makin terpuruk, oleh tangan-tangan kekuasaan yang rakus dan tamak.
Cerita-cerita lisan dan mitos-mitos masa lalu yang indah kini perlahan tergantikan dengan mitos-mitos baru yang kejam.
Mitos-Mitos Pembangunan
Pdt Elifas Tomix Maspaitella, Ketua Sinode GPM saat ini, kala menjadi Ketua PB AMGPM tahun 2015 pernah datang ke Maraina-Manusela untuk acara Sumpah Adat.
Ia menulis sebuah catatan kecil berjudul Dokumen Murkele. Di situ ada informasi tentang mitos-mitos masyarakat Nusa Ina. Kain Kafan, Gunung Ararat, Dua Loh Batu, Kuburan Nabi Musa, dll. Mitos-mitos ini tentu memiliki daya pikat tersendiri, dan butuh kajian lebih mendalam.
Yang tak kalah menarik dan memprihatinkan adalah mitos-mitos pembangunan. Sejak Indonesia merdeka, negeri-negeri di pegunungan sangat terlupakan. Tak ada jalan dan jembatan, tak ada jaringan listrik termasuk jaringan teknologi komunikasi.
Baru beberapa tahun belakangan ini melalui Dana Desa dibangun rumah layak huni beratapkan senk, berdinding papan. Jalan raya mulai dirintis sampai Negeri Kaloa, itupun jalan belum beraspal. Jalannya bolong-bolong dan jembatan kayu dibuat oleh pemerintah negeri-negeri di pegunungan memanfaatkan dana desa itu
“Sebagai warga negara mereka perlu diperhatikan secara adil seperti warga negara lainnya” ungkap Drs Nova Anakotta, M.Si Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Maluku Tengah.
Beliau bersama lima orang stafnya berjalan kaki menuju Negeri Elemata untuk melakukan Nikah Massal dan pencatatan kependudukan bagi masyarakat di pegunungan.
Tanah-tanah ulayat masyarakat juga terancam. Ada yang sudah membeli tanah-tanah masyarakat dengan harga murah, demikian pula ada rencana pembangunan Bendungan Raksasa yang belum tentu membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Saat kami berada di sungai Isal, Pendeta Hany Tamaela menunjukan pipa yang terpancang di sana. “Itu sudah dipatok sejak tahun 1985. Rencananya mau membangun PLTA” untuk pendeta yang biasa dipanggil Hantam itu. Pdt Hantam pernah melayani di Maraina selama 6 tahun.
Ia menyertakan pernyataan kritis bahwa jangan sampai kehadiran mega-proyek itu justru menyengsarakan rakyat pegunungan.
Pdt George Likumahuwa yang turut dalam perjalanan menekankan pentingnya advokasi hak-hak masyarakat pegunungan. “Kita perlu membangun kesadaran kritis masyarakat serta membangun jaringan advokasi rakyat yang solid” ungkap Kepala Bagian Keuangan Sinode GPM yang saat ini sedang melanjutkan studi S3 pada program doktoral Agama dan Kebangsaan UKIM Ambon ini.
Pembangunan dan modernisasi memang menjanjikan kehidupan yang maju dan makmur. Namun janji-janji indah itu dapat berbalik menjadi bencana jika manusia lupa pada sesamanya. Hanya mengeksploitasi alam dan sesamanya.
Negeri Kaloa, Elemata, Hatuolo, Manusela dan Maraina, lima negeri di bentang pegunungan Murkele apakah akan makin sejahtera ketika pembangunan dan modernisasi merayak masuk di negeri-negeri itu?
Bagaimana strategi kebudayaan yang harus dibangun agar pembangunan tidak justru menyingkirkan masyarakat asli dan menjadikan mereka orang asing di negeri sendiri?
Ini agenda-agenda transformatif yang perlu disikapi dengan bijaksana. Agar pesona dan daya magis Murkele tetap menjadi kebanggaan anak-anak Maluku. Alam tetap lestari dan tidak rusak oleh tangan-tangan kekuasaan yang tamak.
Dalam perjalanan pulang dari Maraina terlihat ada beberapa Jemaat sedang menyelesaikan pembangunan gedung gereja. Selain Jemaat Maraina, Jemaat Hatuolo dan Jemaat Elemata sedang berjuang menyelaikan Kabah Tuhan itu.
Ketika berjumpa Majelis Jemaat Elemata mereka menitip harapan kelak bisa memeroleh sebuah lonceng gereja. Saya berdoa semoga ada pribadi yang tergerak menyumbang lonceng gereja bagi mereka.
"Kami doakan agar ada orang yang berbaik hati menolong kami terkait lonceng gereja" ungkap Penatua Yotam. Saya mengimani dan mengamini doanya.
Jalan menuju puncak Maraina adalah jalan yang berlumpur dan naik turun lembah. Jalan di sisi kiri kanannya ada pohon duri dan pohon gatal. Pohon duri mengingatkan kita agar lebih berhati-hati. Daun gatal dan menolong menguatkan tulang dan lutut yang goyah.
Sungai-sungai yang mengalir dapat menghilangkan dahaga termasuk air bulu (bambu) yang dapat diambil di rumpun bambu yang tumbuh subur di hutan Seram Nusa Ina.
Sungguh Tuhan sudah menyediakan segala sesuatu di alam ini bagi manusia. Asal tidak serakah, segala sesuatu serasa cukup. Dengan kasih dan cinta, manusia bisa menemukan sejahtera.
Desau angin pegunungan berhembus sejuk, burung-burung berkicau, kupu-kupu berterbangan, embun menari di atas dahan, langkah-langkah insan penuh lumpur menuju puncak gunung Murkele, menuju puncak kemuliaan TUHAN. Diberkatilah semua ciptaan ! (***)