Cerita-cerita lisan dan mitos-mitos masa lalu yang indah kini perlahan tergantikan dengan mitos-mitos baru yang kejam.

Mitos-Mitos Pembangunan

Pdt Elifas Tomix Maspaitella, Ketua Sinode GPM saat ini, kala menjadi Ketua PB AMGPM tahun 2015 pernah datang ke Maraina-Manusela untuk acara Sumpah Adat.

Ia menulis sebuah catatan kecil berjudul Dokumen Murkele. Di situ ada informasi tentang mitos-mitos masyarakat Nusa Ina. Kain Kafan, Gunung Ararat, Dua Loh Batu, Kuburan Nabi Musa, dll. Mitos-mitos ini tentu memiliki daya pikat tersendiri, dan butuh kajian lebih mendalam.

Yang tak kalah menarik dan memprihatinkan adalah mitos-mitos pembangunan. Sejak Indonesia merdeka, negeri-negeri di pegunungan sangat terlupakan. Tak ada jalan dan jembatan, tak ada jaringan listrik termasuk jaringan teknologi komunikasi.

Baru beberapa tahun belakangan ini melalui Dana Desa dibangun rumah layak huni beratapkan senk, berdinding papan. Jalan raya mulai dirintis sampai Negeri Kaloa, itupun jalan belum beraspal. Jalannya bolong-bolong dan jembatan kayu dibuat oleh pemerintah negeri-negeri di pegunungan memanfaatkan dana desa itu

“Sebagai warga negara mereka perlu diperhatikan secara adil seperti warga negara lainnya” ungkap Drs Nova Anakotta, M.Si Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Maluku Tengah.

Beliau bersama lima orang stafnya berjalan kaki menuju Negeri Elemata untuk melakukan Nikah Massal dan pencatatan kependudukan bagi masyarakat di pegunungan.

Tanah-tanah ulayat masyarakat juga terancam. Ada yang sudah membeli tanah-tanah masyarakat dengan harga murah, demikian pula ada rencana pembangunan Bendungan Raksasa yang belum tentu membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat. 

Saat kami berada di sungai Isal, Pendeta Hany Tamaela menunjukan pipa yang terpancang di sana. “Itu sudah dipatok sejak tahun 1985. Rencananya mau membangun PLTA” untuk pendeta yang biasa dipanggil Hantam itu. Pdt Hantam pernah melayani di Maraina selama 6 tahun.

Ia menyertakan pernyataan kritis bahwa jangan sampai kehadiran mega-proyek itu justru menyengsarakan rakyat pegunungan.

Pdt George Likumahuwa yang turut dalam perjalanan menekankan pentingnya advokasi hak-hak masyarakat pegunungan. “Kita perlu membangun kesadaran kritis masyarakat serta membangun jaringan advokasi rakyat yang solid” ungkap Kepala Bagian Keuangan Sinode GPM yang saat ini sedang melanjutkan studi S3 pada program doktoral Agama dan Kebangsaan UKIM Ambon ini.

Pembangunan dan modernisasi memang menjanjikan kehidupan yang maju dan makmur. Namun janji-janji indah itu dapat berbalik menjadi bencana jika manusia lupa pada sesamanya. Hanya mengeksploitasi alam dan sesamanya.

Negeri  Kaloa, Elemata, Hatuolo, Manusela dan Maraina, lima negeri di bentang pegunungan Murkele apakah akan makin sejahtera ketika pembangunan dan modernisasi merayak masuk di negeri-negeri itu?

Bagaimana strategi kebudayaan yang harus dibangun agar pembangunan tidak justru menyingkirkan masyarakat asli dan menjadikan mereka orang asing di negeri sendiri?

Ini agenda-agenda transformatif yang perlu disikapi dengan bijaksana. Agar pesona dan daya magis Murkele tetap menjadi kebanggaan anak-anak Maluku. Alam tetap lestari dan tidak rusak oleh tangan-tangan kekuasaan yang tamak.