Di Manusela saya mengunjungi SD YPPK Dr J.B Sitanala. “Sekolah ini sudah didirikan sejak tahun 1913, sebelum Indonesia merdeka” ungkap Bpk H Lilihata, kepala sekolah yang sudah bertugas lebih dari dua puluh tahun di sekolah milik GPM ini.

Ia mengharapkan adanya dukungan yayasan pusat terkait sarana prasarana dan tenaga guru. Saya juga menjumpai Raja Manusela dan berdiskusi di kantor negeri yang letaknya di ujung negeri. Selain itu bertemu Majelis Jemaat GPM Manusela bersama Ketua Majelis Jemaatnya Pdt Vargo Manduapessy, M.Th.

Maraina dan Manusela merupakan dua negeri bertetangga. Dibanding Manusela, Maraina mungkin tidak sepopuler Manusela. Selain nama Taman Nasional Manusela yang sohor itu, Manusela juga merupakan salah satu pusat kendali kolonial Belanda di pegunungan Seram. Namun begitu, Maraina dan Manusela tetaplah merupakan dua negeri adat yang patut diperhitungkan jika hendak menelisik jalur-jalur adat budaya.

Pendeta Hantam memberi nama untuk anak lelakinya, MARSEL, yang artinya Maraina-Manusela. Sebuah jejak simbolik yang hendak menegaskan relasi kedua negeri di kaki gunung Murkele itu.

Disambut tarian cakalele oleh warga Maraina

Saat pembukaan Sidang ke-52 Klasis GPM Seram Utara pada hari Minggu, 30 Mei 2021 Ketua Klasis Seram Utara, Pdt Jems Elath menyampaikan rasa kagum dan terima kasih kepada jemaat dan negeri Maraina.

Ia menyatakan bahwa gereja terpanggil untuk terus mendorong pendidikan dan pemberdayaan ekonomi bagi jemaat-jemaat di pegunungan dan Seram Utara pada umumnya.

Raja Negeri Maraina Pieter Ilela dalam sambutannya mengharapkan adanya kerjasama yang baik dari gereja dan pemerintah untuk bersama-sama mengusahakan kesejahteraan jemaat dan masyarakat.

“Pemerintah itu ibarat Bapa sedangkan gereja itu Mama. Kerjasama Bapa-Mama itu sangat menentukan”ungkapnya.

Sidang Klasis ini dihadiri para pendeta dan penatua-diaken, jumlahnya hampir 80 orang.  Ada 3 orang perempuan pendeta yang hadir yakni Pdt Ellen Titing, Pdt Mira Manuputty dan Pdt Dian Seipatiseun.

“Mereka ini perempuan-perempuan hebat, bisa tembus sampai di Maraina” ungkap Bapak Gayus, Ketua Panitia Sidang Klasis.

Udara di Maraina terasa dingin. Tak ada polusi udara. Pepohonan rimbun, air mengalir jernih mengitari negeri Maraina. Suara burung masih terdengar riuh. Demikian pula pemandangan ke puncak Murkele selalu memukau. Gedung gereja Maraina diberi nama Beth Eden, terbuat dari empat unsur alam: daun atap sagu, bambu, rotan dan kayu.

Sangat alami. Saya lalu ingat kidung Dua Sahabat Lama “Indah sebagai di Eden, pada permulaan. Hutan dan rimba berbunga, tampak sedap senang”. Tapi saya juga sadar bahwa Eden yang indah itu makin terpuruk, oleh tangan-tangan kekuasaan yang rakus dan tamak.