BERITABETA.COM, Masohi –  Rencana peletakan batu pertama pembangunan 13  unit rumah masyarakat yang direlokasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malteng dari Kelurahan Ampera ke lokasi baru Dusun Haunakao, Kelurahan Letwaru Kecamatan Kota Masohi,  Kabupaten Maluku Tengah, dibatalkan.

Ratusan  warga  yang  terdiri dari ahli waris pemilik lahan  marga Pelletimu,   masyarakat adat Negeri Amahai Lounussa Maatita,  serta masyarakat adat Amahai Lounussa Tomarala (Negeri Rutah) Kecamatan Amahai, menolak proses relokasi itu.

Mereka menggelar aksi demo dan menolak kehadiran  pihak Pemkab Malteng yang di wakili  Plt. Setda Malteng Dr. Rakib Sahubawa  bersama jajaran maupun unsur Forkopimda Malteng,  untuk melakukan peletakan batu pertama pada lokasi pembangunan, Jumat (1/2/2019).

Dalam orasi yang disampaikan perwakilan masyarakat Adat Negeri Amahai,  rencana pembangunan 13 unit rumah warga yang di relokasi oleh Pemkab Malteng dinilai merupakan gagasan serta ide politik yang ingin menghancurkan dan memecah belah masyarakat.

Upaya yang dilakukan pemda tersebut sangat bertentangan dengan aturan.   Pemda dinilai tidak memiliki dasar hukum atas tanah yang merupakan hak ulayat masyarakat adat dusun Haunakao.

“Kami masyarakat adat tidak akan tinggal diam dalam memperjuangkan hak-hak kami,  karena kami menilai kalau pemerintah daerah Malteng sudah mengkebiri semua hak masyarakat  atas sejumlah tanah  di kota Masohi,”tukas mereka.

Mereka menegaskan,  tanah seluas 600 hektar yang diserahkan oleh orang tua mereka untuk pembangunan dan perluasan Kota Masohi, bukan untuk di perjual belikan oleh oknum-oknum tertentu di jajaran pemda Malteng kepada masyarakat.

“Semua sertifikat tanah yang kini di miliki oleh masyarakat yang ada dalam kota Masohi  cacat hukum,  karena penerbitan sertifikat oleh Badan Pertanahan Maluku Tengah tidak memiliki alas hak  dari masyarakat adat yang punya hak ataupun dari pemerintah negeri Amahai, “sebut pendemo.

Mereka mengingatkan pemerintah daerah  untuk tidak coba-coba melakukan berbagai aktifitas yang melanggar aturan,  karena sudah hampir 62 tahun  lamanya Pemda Malteng belum juga menyelesaikan masalah tanah adat masyarakat Amahai melalui pembayaran ganti rugi.

“Sudah saatnya kami akan menentang pemerintah daerah dengan politik busuk, kami juga menyampaikan hal ini ke pemerintah pusat di Jakarta,”teriak mereka.

Salah satu anggota Saniri Negeri Amahai,   Yongky Sopacua juga menegaskan,  pihaknya tidak menghalangi program pemerintah terkait dengan pembangunan rumah yang akan digunakan untuk menampung warga dari Kelurahan   Ampera yang terdampak penggusuran revitalisasi kampung Kodok.

“Akan tetapi tanah ini adalah milik negeri Amahai,  maka dari itu harus diselesaikan terlebih dahulu,”pintanya.

Menyikapi  penolakan tersebut, Kapolres Malteng AKBP Raja Arthur L. Simamora,S.Ik di depan masyarakat adat Amahai dan juga perwakilan Pemda, meminta agar upaya peletakan batu pertama pembangunan 13 rumah masyarakat yang di relokasi  untuk di hentikan sambil menunggu proses hukum.

“Saya sebagai Kapolres Malteng saat ini berdiri di tengah-tengah kedua belah pihak,  dan tidak menimbang ke kiri atau ke kanan.   Tetapi hari ini,  saya bertindak sebagai aparat negara untuk menghindari hal-hal yang sama-sama kita tidak inginkan,”ujarnya.

Kapolres juga meminta kepada kedua belah pihak  untuk segera mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.

“Nanti di pengadilan yang memutuskan,  siapa yang menang dan siapa yang kalah karena  polisi tidak berhak untuk melakukan proses dan putusan perdata karena itu ranahnya pengadilan,”pintanya.

Sementara itu Ketua Pengadilan Negeri Masohi Harris Tewa,SH.MH mengatakan,  pada prinsipnya sebagai anak negeri Seram dirinya optimis untuk melakukan penegakan hukum.

“Kehadiran saya hari ini dan di tempat ini hanya penghargaan sebagai Forkopimda, dan bukan untuk membela pemerintah daerah atau siapapun. Jadi untuk masalah perdata tanah yang di sengketakan hari ini antara masyarakat Amahai dengan Pemerintah Daerah,  silahkan masing-masing menyiapkan berkas-berkasnya dan di ajukan ke Pengadilan melalui perdata,”tegasnya.

Tewa juga menyatakan tidak akan memihak kepada siapapun, dan akan berupaya bersikap adil sesuai aturan yang berlaku.

“Silahkan saja masing-masing menyiapkan berkas dan ajukan ke pengadilan.  Nanti di persidangan baru kita lihat kepastian hukumnya. Jadi saya minta agar Pemda Malteng bisa duduk bersama lagi dengan masyarakat adat negeri Amahai,  untuk menyelesaikan masalah ini, kalaupun tidak ada kesepakatan maka harus ajukan gugatan hukum, harapnya. (BB-DIA)