Catatan : Nezar Patria

Dalam keadaan genting di sebuah bukit di pedalaman Peudawa, Aceh Timur, saya menelepon Toriq Hadad, wakil pemimpin redaksi Tempo, dengan menggunakan telepon satelit milik Panglima Operasi Gerakan Aceh Merdeka Ishak Daud, sekitar Mei 2004.

Misi sejumlah wartawan untuk bernegosiasi membebaskan Ferry Santoro, juru kamera RCTI yang telah disandera sebelas bulan oleh gerakan itu, terancam macet.

Ferry memang telah berhasil dijemput. Siang itu dia dihadirkan di tengah tim perunding, dan lelaki itu terlihat sehat meskipun tubuhnya makin kurus dan mukanya agak pucat tampak kontras dengan kulitnya yang kian menghitam.

TNI meminta Ferry segera dikeluarkan dari lokasi, sementara Ishak ingin menahan Ferry sehari lagi untuk menggelar upacara pelepasan. Padahal izin yang diberikan TNI sudah hampir habis. Gencatan senjata akan berakhir pukul 12 malam.

Karena situasi kritis, sore itu tim wartawan mencoba berunding dengan Ishak Daud. Dia membolehkan Ferry keluar dari hutan untuk meyakinkan TNI bahwa sandera dalam keadaan baik, asal ada jaminan Ferry kembali lagi esok pagi.

Sesungguhnya ini adalah misi yang sangat berbahaya, nyaris mustahil membangun kepercayaan GAM dan TNI di tengah Darurat Militer yang baru saja berlaku di Aceh pada masa itu.

Hanya berkat izin dari Mabes TNI, demi misi kemanusiaan, lima wartawan ini dibolehkan masuk ke hutan bersama ICRC, organisasi palang merah internasional yang telah ikut dalam proses perundingan sejak awal.

Di bawah tekanan gencatan senjata yang segera berakhir tengah malam, Ishak mengajukan syarat: Ferry boleh keluar dari hutan dan ditunjukkan ke TNI, lalu kembali lagi ke markas GAM untuk upacara pembebasan resmi dan dihadiri ICRC.

Tapi harus ada yang menjamin Ferry akan kembali lagi. ICRC tak bisa mengambil posisi sebagai penjamin. Akhirnya, kami sebagai tim wartawan perunding, yang terdiri dari lima orang, setuju menjaminkan diri kepada Ishak.

Singkat cerita, Ferry akhirnya keluar dari hutan dengan ditemani oleh ICRC. Di Langsa, ibukota kabupaten Aceh Timur, TNI memeriksa keadaan Ferry. Tapi problem lain muncul: TNI menganggap proses selesai, Ferry tak boleh kembali ke markas GAM. Ishak pun berang, lima wartawan perunding yang jadi jaminan dibawa masuk ke dalam hutan.

“Perundingan yang hebat. Lepas satu, dapat lima,” kata Ishak kepada kami dengan senyum kecut. Jantung saya berdegup keras.

Ishak pun sesungguhnya sangat khawatir. Dahinya berkeringat di malam itu. Peudawa sudah terkepung rapat oleh pasukan TNI. Jika kontak senjata pecah, bukit itu akan merah oleh darah. Kami berlima mendadak jadi sandera dan tentu saja menjadi beban politik baru bagi GAM yang tengah mendapat tekanan internasional karena menyekap wartawan.