“Coba lihat apakah ini mengandung babi? Huruf keriting begini kita tak bisa baca,” katanya bergurau sambil membaca label di bungkus mie dalam huruf kanji.

Dia bersemangat membeli aneka rasa, dan kami saling bercerita soal keluarga dan situasi industri media yang makin sulit dengan maraknya media sosial.

“Yang harus kita jaga adalah jurnalisme bermutu. Teknologinya boleh apa saja, tapi jurnalisme bermutu harus tetap hidup,” ujar Toriq.

Tadi pagi saya mendengar kabar Toriq Hadad meninggal setelah kurang lebih sepekan terbaring di ruang ICU rumah sakit akibat masalah di jantungnya. Dia dimakamkan tadi siang di TPU Jeruk Purut, dan diantarkan oleh orang-orang yang dicintainya dan mencintainya.

Goenawan Mohamad berpidato di makamnya, dan mengatakan betapa berat beban seorang Toriq Hadad ketika menakhodai Tempo di saat-saat yang sulit, dan dedikasinya itu tak akan tergantikan.

Bambang Harymurti bercerita bagaimana totalitas Toriq dalam bekerja, dan mengantarkan Tempo sampai berusia setengah abad, nyaris tiga perempat hidupnya diabdikan untuk Tempo. Dia tak pernah pergi ke manapun, Tempo adalah rumah baginya.

Saya termenung di gundukan tanah yang masih basah itu. Bau mawar meruap, dan saya membacakan doa bagi seorang mentor yang baik hati, yang pergi di dua pertiga Ramadan, bulan yang baik. Al Fatihah (*)

 

Catatan ini bersumber dari postingan Nezar Patria di akun Fecebook