Suatu kali dia memeriksa tulisan saya, dan memberikan angka 6. Saya tertegun, dan merasa telah memberikan yang terbaik. Saat itu saya baru dipindah dari koran ke majalah. Saya nekad menulis email dan bertanya mengapa saya diberi nilai buruk, dan memohon pencerahan darinya.

Saya tak berharap dia menjawab, mengingat dia begitu sibuk. Namun beberapa jam kemudian dia membalas email itu, dan menyebutkan satu persoalan pokok dalam tulisan saya.

Dia berkata kurang lebih begini: “Bahanmu bagus, sumber dapat semua, tapi frame kamu menulis masih sangat koran. Kalau bentuknya begitu, maka artikelmu usianya hanya sehari. Ingat, kamu menulis buat majalah mingguan, dan majalah kita akan dibaca orang selama sepekan.

Pikirkan dimensi waktu, cari ‘angle’ yang kuat, sehingga cerita bisa dibangun lebih menarik, dan lebih dalam. Kita menggali soal why, bukan soal what. Saya gembira sekali mendapat balasan itu.

Soal angle memang menjadi ilmu tersendiri di Tempo. Dalam kelas bagi staf redaksi, Toriq menjelaskan cara memahami apa itu angle.

Dia berdiri di depan kelas, dengan baju kemeja yang selalu rapi, dan suara khas berdialek arek Jawa Timur, Toriq tampak selalu  berwibawa di depan anak didiknya.

Lalu di depan kelas, dia menggambar sebuah lingkaran tiga dimensi, sebuah bola, yang disebutnya sebagai “peristiwa”. Bola itu, kata Toriq, bisa ditatap dari segala jurusan, dan setiap bidangnya adalah bagian-bagian cerita yang memberi bentuk pada sebuah peristiwa.

“Kalian bisa bercerita dari mana saja, jadikan satu bidang itu sebagai titik pandang untuk menceritakan sebuah peristiwa. Tentu, yang paling penting kalian memahami peristiwanya,” demikian nasehat Toriq. Saya mencatat. Saya mulai mengaguminya.   

****

Saya menelepon dari puncak bukit itu, dan benar, Toriq Hadad belum tidur. “Kamu baik-baik saja Zar? Saya segera kontak BHM agar bisa menyampaikan situasi ini ke Panglima TNI,” ujar Toriq. Nada bicaranya terdengar cemas.

BHM adalah Bambang Harymurti, pemimpin redaksi di Majalah Tempo. Kepada Toriq saya menceritakan keadaan di lapangan dan perkembangannya, dan hanya Panglima TNI yang bisa memberikan keputusan untuk perpanjangan izin perundingan.

Toriq mengatakan dia segera menghubungi BHM malam itu juga. Saya percaya Toriq pasti akan melakukannya. Kelak, saya tahu dia menghubungi BHM tengah malam itu, dan BHM lalu dengan cepat mengontak Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.

Sebagai pemimpin redaksi Tempo, BHM memang akrab dengan Jenderal Endriartono, yang terkenal pro reformasi, pemberani, dan berpikiran terbuka. Saya tak tahu apa yang terjadi di Jakarta, dan apa yang disampaikan BHM kepada Jenderal Endriartono.