Toriq Hadad, Sang Mentor dan ‘Penjaga Gawang’ Tempo yang Handal

Di puncak bukit bersama tiga orang kombatan GAM bersenjata AK-47 yang tampak gusar, saya hanya bisa berdoa. Tiba-tiba ada isyarat melegakan menjelang subuh. Kami diperbolehkan turun dari bukit, batas waktu perundingan diperpanjang sampai pukul enam sore.
Ferry akan kembali ke lokasi, dan upacara seperti yang diinginkan Ishak Daud akan dilaksanakan tak boleh lebih dari pukul enam. Saya percaya Toriq Hadad telah bekerja, dan Bambang Harymurti telah melakukan hal terpenting dalam rangkaian proses pembebasan yang tentu saja melibatkan kerja besar komunitas pers nasional.
Momen itu membuat saya mengenal lebih dekat Toriq. Dia sering mengulang-ulang peristiwa kritis itu dan menggoda saya bagaimana kalau telepon selulernya mati dan dia tertidur sehingga tak mendengar ada panggilan darurat, dan tak bisa menghubungi BHM. Perang mungkin akan pecah dan nasib saya menjadi gelap.
“Seorang wartawan harus siaga dalam situasi apapun. Peristiwa terjadi di luar kemauan kita,” ujarnya.
Saya mencatat. Saya mengaguminya. Sejak itu pekerjaan mengalir, dan saya belajar banyak hingga menjadi editor, dan Toriq Hadad semakin sibuk menjadi pemimpin redaksi menggantikan BHM.
Sejak saya pamit dari Tempo pada 2008, dan setelahnya bekerja di berbagai media, saya jarang bertemu lagi dengannya, kecuali dalam beberapa acara di Dewan Pers.
Bertahun-tahun kemudian, sewaktu saya menjadi Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, saya mengunjunginya di kantor Tempo di Palmerah Barat, atas undangan Toriq untuk membicarakan strategi kolaborasi media menghadapi disrupsi digital.
Kantor saya hanya beberapa ratus meter dari Tempo, dan setiap hari Gedung Tempo itu bisa ditatap dari jendela kamar kerja saya. Saya kadang berpikir perjalanan hidup seringkali memberikan kejutan dan hal tak terduga. Saya akan bertemu Toriq sebagai kolega, tapi di hadapannya, saya selalu merasa dia masih menjadi mentor saya.
Perjalanan bersama kami adalah ketika menghadiri undangan Tokyo Motor Show pada Oktober 2019. Perjalanan itu begitu menyenangkan terutama karena bertemu dengan banyak rekan sejawat dan para senior media nasional, dari Karni Ilyas, Suryopratomo, Rosiana Silalahi, Budiman Tanuredjo, Ilham Bintang, Arif Zulkifli, dan lain-lain. Saya melihat Toriq Hadad gembira menyusuri lorong-lorong di Tokyo mencari bat pingpong. Dia hobi olahraga, terutama sepakbola, tapi belakangan lebih suka bermain pingpong.
Saya menikmati perjalanan berdua saja menelusuri kedai-kedai makanan, dan membeli ramen kering instan buat buah tangan. Toriq memilih ramen kering pesanan putranya, dan sesekali mencermati bungkusnya.