Masing-masing 272 kepala daerah yakni gubernur, wali kota – wakil walikota hingga bupati-wakil bupati tersebar di 25 provinsi. Untuk Provinsi Maluku ada lima kepala daerah yang masa jabatannya habis pada Mei 2022.

Yaitu Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Buru, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Sementara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru akan digelar secara serentak pada 2024 mendatang.

Akmal menegaskan dalam kehidupan bernegara termasuk penyelenggaraan pemerintahan, wajib hukumnya menaati aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu harus menjadi dasar semua pihak, baik dalam bertindak maupun menyusun kebijakan.

"Dalam menjalani kehidupan bernegara dan menyelenggarakan pemerintahan seluruh elemen bangsa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana amanat konstitusi yang di muat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yakni Negara Indonesia adalah negara hukum, " terangnya.

Dia menjelaskan, masa jabatan kepala daerah telah diatur dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 serta Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014.

Dua aturan ini menjelaskan masa jabatan kepala daerah yakni hanya 5 tahun terhitung sejak pelantikan, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Artinya, menurut dia, tidak ada klausul perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Apabila diperpanjang, justru itu akan bermasalah dari sisi perundang-undangan dan berpotensi melanggar aturan.

"Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014 serta Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut tidak terdapat ruang regulasi untuk perpanjangan masa jabatan kepala daerah karena secara eksplisit normanya mambatasi hanya 5 tahun," timpalnya.

Adapun UU Nomor 10 Tahun 2016 yang memuat pengaturan tentang Pilkada, termasuk ketentuan soal Pilkada Serentak Tahun 2024 merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.Selain itu, mengenai penunjukan penjabat kepala daerah juga memiliki dasar hukum.

Dalam regulasi yang mengatur soal Pilkada Serentak, mulai UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 6 Tahun 2020, di dalamnya memuat soal pengaturan tentang penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sampai dengan dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

"Dalam menunjuk penjabat kepala daerah, pemerintah pastinya mengedepankan kapasitas, kompetensi, dan integritas secara cermat, hati-hati serta selektif.  Sehingga dapat menjamin kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di daerah," ungkapnya.

Dia meyakini, para ASN memiliki kapasitas yang bisa diandalkan untuk menjalankan tugas sebagai penjabat kepala daerah.

Mereka dianggap memiliki pengalaman dan kemampuan teknis. Selama ini pun berdasarkan pengalaman yang ada, para penjabat kepala daerah bisa berkomunikasi baik dengan pihak DPRD setempat.

Selain itu, pemerintah pun tidak akan lepas tangan begitu saja ketika penjabat kepala daerah sudah ditunjuk dan bekerja.

Berdasarkan ketentuan Pasal 373 UU Nomor 23 Tahun 2014 dan amanat Pasal 132 ayat (6) PP Nomor 6 Tahun 2005, pemerintah akan secara ketat melakukan pembinaan dan pengawasan. Hal ini untuk menjamin kinerja penjabat kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Seiring dengan upaya pembinaan, pengawasan, dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah tentunya sangat diharapkan kerjasama seluruh lembaga dan elemen di masyarakat untuk turut mendukung dan mengawasi kinerja pemerintahan daerah di masa transisi agar tetap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," katanya.

Terlepas dari itu, Akmal menghormati setiap pandangan, gagasan, dan masukan terkait dengan kepala daerah termasuk yang disampaikan Djohermansyah.

Ia optimis, Djohermansyah yang pernah menjadi Dirjen Otda memiliki maksud baik dengan usulan tersebut.

Terlebih, katanya, dalam demokrasi siapa pun berhak menyuarakan pendapatnya dan harus dihormati. Tapi, tatkala hal itu menyangkut tata penyelenggaraan bernegara yang sudah ada aturannya, maka tidak dapat kemudian sebuah usulan diwujudkan dengan melanggar rambu yang telah digariskan pada peraturan perundang-undangan. (BB)

 

Editor : Redaksi