Oleh karena itu, dibutuhkan kesepakatan untuk memastikan bahwa Indonesia adalah milik bersama, menghapus prinsip dominasi atas apapun, Kesetaraan dalam kemanusiaan, keamanan dan kesejahteraan umum bagi semua orang, kedamaian atas prinsip tepo seliro yang didasarkan kepada ideologi Pancasila yang akan memayungi keragaman dalam politik kebangsaan dan politik kenegaraan bagi seluruh warga negara tanpa ada labelisasi yang bernuansa SARA.

Politik Identitas Mengancam Persatuan dan Kesatuan NKRI Politik Kebangsaan Pancasila yang bersifat multikultur secara konseptual memiliki makna sebagai anti tesis dari praktik politik identitas yang bersifat partikularistik.

Untuk pemilu mendatang kita membutuhkan sosok calon-calon pemimpin yang melakukan metamorfosa dari politik identitas menjadi politik kebangsaan. Sebagai negara yang multikultural serta demokratis, sudah sepantasnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam pemilu. Tidak hanya orang Jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar Jawa juga bisa. Tidak hanya orang islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non-islam juga bisa. Dalam artian bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada suku, agama, ras, atau etnik semata, tapi lebih kepada kemampuan orang-orang itu untuk memimpin dan mengayomi masyarakat.

Akankah politik identitas menjelang pemilu 2024 bermetamorfosa menjadi politik kebangsaan? Hal ini bisa terjadi asalkan adanya kesadaran dari seluruh aspek pelaku politik yang mementingkan nilai-nilai kebhinekaan dalam bingkai Pancasila sebagai dasar Negara (*)