Darurat Sipil Covid-19: Presiden Diberi Saran yang Salah
Oleh : Dr (can) Hasrul Buamona,S.H.,M.H. (Advokat – Doktor Hukum Kesehatan UII Yogyakarta dan Direktur LPBH NU Kota Yogyakarta)
SETELAH Wuhan Tiongkok lolos dari pendemi Covid-19, wabah tersebut tak terhenti namun menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Laporan dari cnnindonesia.com, informasi terkahir jumlah yang positif Corona di Indonesia sudah mencapai 1.414 kasus, dengan 122 orang meninggal dan 75 orang lainnya dinyatakan sembuh.
Namun dibalik itu, kepanikan dan berita hoaks yang diterima publik juga tidak sedikit, dampaknya dari itu semua membuat masyarakat emosi terhadap sikap Pemerintah yang dirasakan kurang konsisten, kurang persiapan dan kurang terarah dalam kebijakan melawan Covid-19.
Selain kepanikan semakin menyebarnya virus Corona di seluruh Indonesia, masyarakat dalam beberapa hari ini disuguhkan dengan berita baik cetak, TV dan online bahwa, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Presiden rencananya dalam waktu dekat akan mengeluarkan kebijakan Darurat Sipil untuk penanganan Covid-19. Kebijakan darurat sipil tidak hanya kontroversial, namun lebih dari itu, terjadi penolakan oleh masyarakat luas.
Penulisan ini, hanya berfokus mengoreksi tepatkah rencana norma Darurat Sipil dalam PERPU No.23 Tahun 1959 diterapkan Presiden Joko Widodo dalam menganggulangi wabah Covid-19.
Menurut penulis sebenarnya UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekerantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan) dan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 sudah cukup untuk menjadi pijakan hukum Presiden dalam pemberantasan pandemi virus Corona.
Hal ini dikarenakan telah terpenuhi kriteria pembatasan sosial berskala besar yang terdiri dari : (1) epidemologis, (2) besarnya ancaman, (3) efektifitas, (4) dukungan sumber daya, (5) teknis operasional, (6) pertimbangan ekonomi ,(7) sosial, budaya dan kemanan.
Darurat Sipil yang direncanakan Presiden, menurut penulis adalah tindakan yang salah dan terlihat gegabah tanpa penalaran hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum.
Apabila kembali melihat Pasal 49 ayat (1) UU Kekarantinaan berbunyi “Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan”.
Perlu diketahui bunyi Pasal 49 ayat (1) UU Kekarantinaan, telah secara jelas menyebutkan frasa “kedaruratan kesehatan masyarakat”. Frasa “kedaruratan kesehatan masyarakat” secara hukum juga telah menunjukan bentuk-bentuk dari kedaruratan tersebut dalam bentuk karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit dan/atau pembatasan sosial berskala besar.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dalam aspek kedaruratan. Selain itu, melihat konsiderans UU Kekerantinaan, UU No.4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 tidak sama sekali memuat PERPU No.23 Tahun 1959.
Dari sini jelas bahwa secara hukum, ruang lingkup darurat sipil yang direncanakan Presiden tidak tepat diterapkan dalam penanganan kasus Covid-19.
Penting untuk diketahui oleh Presiden bahwa ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’ yang bertujuan mencegah meluasnya penyebaran Covid-19, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2012 adalah bentuk dari implementasi dari kedaruratan kesehatan masyarakat.
Kedaruratan kesehatan masyarakat sesuai Pasal 49 ayat (1) UU Kekarantinaan adalah norma hukum khusus ,sedangkan darurat sipil yang terdapat dalam PERPU No.23 Tahun 1959 adalah norma hukum umum. Di mana norma hukum khusus harus mengesampingkan norma hukum umum, sebagaimana asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis.
Keadaan darurat kesehatan seperti ini, Tuan Presiden harus mendengar nasihat hukum dari ahli hukum kesehatan yang lebih memahami secara komprehensif pengaturan hukum dalam bidang kesehatan.
Jikalau Tuan Presiden ingin himbauan ini berubah menjadi penegakan hukum yang tegas, maka Tuan Presiden cukup menggunakan ketentuan sanksi pidana yang terdapat dalam UU Kekarantinaan dan UU No.4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Penulis sarankan kepada Tuan Presiden dengan melibatkan Pemerintah Daerah untuk siapkan segala kebutuhan pangan masyarakat seluruh Indonesia, sebagaimana amanah UU Kekarantinaan yang mana sumber pendanaan tersebut bisa didapatkan dari APBN,APBD dan/atau masyarakat. Semoga kita semua dalam lindungan Allah Swt dan tetap di rumah (***)