Catatan : Mary Toekan Vermeer

Suara tifa bertalu, berirama memenuhi senja di pantai Soa sio. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di kaki langit meninggalkan semburat merah di sela - sela siluet nyiur sepanjang pesisir.

Di madrasah tempat kami belajar seusai sekolah, mendadak ustadzah tak bisa datang. Biasalah, namanya anak - anak, senang banget terus menghambur keluar kelas. Aku diajak teman - teman. Berlarian kami menuju pantai ke arah asal suara tifa tadi.

Bunyi itu terus berdentum. Kadang keras, kadang pelan, mengiringi perempuan - perempuan separuh baya menari - nari. Pemimpinnya seorang wanita sepuh.

Semakin lama iramanya semakin cepat. Aroma magis tercium kuat. Energi gaib ikut meliuk bersama para penari. Ketika matahari mulai menghilang, awan merah berarak menandai waktu larangan sholat, di situlah justru puncaknya.

Wanita sepuh itu mendekati seseorang.  Kelihatannya seperti pasien. Dengan jampi - jampi abrakadabra, si pasien yang menderita sakit hingga tak bisa jalan, seketika sembuh. Wallahu a'lam.

Sebagai ucapan " terima kasih ", sebuah perahu lumayan besar bermuatan penuh berbagai hidangan, siap dilarungkan. Perahu yang menyerupai kano itu memiliki bilah - bilah kayu di kanan kiri untuk menjaga kestabilannya.

Daun - daun kelapa di hias menutupi seluruh badan perahu.  Bersama irama tifa,  perahu itu dihanyutkan, mengantar sesajian ke batas dimensi.

Bagi orang - orang yang tak ingin sajian itu lolos menjadi santapan camar, berlomba mereka mendayung sampan,  menghadang sesembahan ini di tengah laut. Lumayanlah buat jamuan se erte.

Ritual ini dinamai " salai jin ", menyusup di  memori masa kecilku. Gara - gara kabar angin secepat info media sosial, aku kena rotan cintanya papa. Belum lagi kaki menyentuh teras rumah, kabar keberadaan aku di lokasi salai jin lebih dulu tiba di kuping papa.

Dalam kondisi masyarakat seperti ini, papa diamanahi tugas. Sebagai pemegang tampuk di daerah nyaris 100% muslim itu, papa harus berjibaku menguraikan belenggu sisa - sisa jahiliyah yang masih terpasung di sebagian penduduknya.

Padahal sesungguhnya jejak Islam kuat mencengkeram bumi kerajaan ini. Empat kesultanan besar yang disebut Moloku Kie Raha, tersapa hangatnya hidayah. Binar cahayanya sudah ada di sana sejak abad 15 Masehi.

Papa seorang dengan pemikiran sangat terbuka, menerima berbagai budaya ataupun tradisi tetapi dengan catatan, tetap dalam koridor Islam. Tak akan papa beri ruang perbuatan syirik, beranak pinak di tanah kesultanan Islam.

Ritual yang melibatkan selain Allah adalah munkar dan pasti berakhir pada kekufuran. Catatan ini bukan untuk penduduk non Islam, sebab ada ruang toleransi di situ.

Perang melawan kemusyrikan ditabuh. Perda larangan adanya salai jin dikeluarkan, walau ditolak sebagian penduduk yang masih menggeluti tradisi ini. Bagi Muslim yang melakukannya, akan berhadapan dengan papa.

Bagaimana tidak ? Para tetua datang menemui papa, menyampaikan keluhan masyarakat. Banyak dari mereka terbelit hutang, demi memenuhi pernak - pernik di puncak ritual. Bila  semakin parah, barulah rumah sakit jadi tujuan.