Kejahatan Pencucian Uang pada Kasus Bank BNI Maluku
Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU mewajibkan kepada pelakunya untuk membuktikan perbuatan tidak bersalah (tidak ada schuld/kesalahan). Dan sama sekali tidak memberi kewajiban hukum kepada aparat penegak hukum yang membuktikan kesalahan pada pelaku.
Hal ini berbeda dengan cara pembuktian pidana menurut KUHAP dalam tindak pidana umum. Dimana kewajiban pembuktian tidak ada pada tersangka/terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 KUHAP.
Disinilah titik lemahnya ketentuan hukum pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dari rasa keadilan membela diri. Sebab rumusan deliknya bersifat formiil, yakni hanya melihat pada perbuatan yang dilarang. Dan salah satu unsur delik formiilnya adalah pada kata “patut diduga” harta kekayaan diperoleh dari hasil kejahatan (tindak pidana).
Mencermati dan menelaah secara saksama kasus hukum Bank BNI pada kantor cabang (KC) dan Kantor Cabang Pembantu di Maluku. Maka kejahatan pencucian uang yang dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dapat dikenakan kepada siapa saja.
Dalam arti setiap orang yang menerima transferan dana dari hasil kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Dan predicate crimenya adalah kejahatan korupsi atau di bidang perbankan pada bank BNI kantor cabang dan cabang pembantu di Maluku.
Delik formiil berlaku bagi pelaku kejahatan TPPU yang menerima transferan uang hasil kejahatan melalui aliran rekening pada Bank BNI kantor cabang atau cabang pembantu di Maluku. Dimana jika pelaku penerima transferan tidak dapat membuktikan sebaliknya mengenai tidak ada kesalahan (schuld) pada dirinya dalam kategori unsur pidana, maka patut diduga uang yang diterima/masuk ke rekeningnya diperoleh dari hasil kejahatan.
Dalam persidangan pada kasus bank BNI di Pengadilan Negeri Ambon terungkap fakta bahwa ada pemilik rekening penerima transferan uang dari hasil kejahatan transaksi di bank BNI yang rekeningnya berkali-kali dipakai untuk menerima transferan uang bermilyar-milyar. Sehingga sulit bagi pelakunya untuk keluar dari jeratan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang sifatnya dilematis karena merupakan delik formil.
Kita sebagai masyarakat hukum tinggal menunggu saja putusan hakim yang menangani perkara tersebut, khususnya pada kejahatan predicate crimenya disatu sisi.
Disisi lain, apakah putusan akan mengerucut pada pertimbangan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sebagai delik formiil, yang berpotensi menyeret semua pelaku lainnya yang menerima aliran transaksi uang/dana perolehan dari hasil kejahatan melalui rekening bank mereka?
Jika hal itu terjadi, maka secara normatif hakim telah menjalankan tafsiran pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sebagai delik formiil dengan sejatinya. Dan disisi lain, penjara berpotensi terbuka lebar untuk pendatang baru, bagi setiap orang penerima transfer selaku pelaku kejahatan pencucian uang pada kasus Bank BNI di Maluku (***)