Menanggapi hasil rekomendasi yang dikeluarkan oleh Tim Investigasi, Sofia Rahmawati selaku selaku Konselor Hukum Rifka Annisa yang turut menjadi pendamping penyintas menduga bahwa jalan keluar yang digunakan oleh Tim Investigasi merupakan salah satu bentuk restorative justice.

Konsep ini kerap ditemui dalam beberapa kasus hukum di mana pelaku menunjukkan iktikad baik terkait kasus yang dialaminya. Iktikad baik yang biasa muncul dalam kasus-kasus umum berupa upaya meminta maaf atau memberikan uang ganti rugi kepada pihak korban. Syarat substantif dari konsep ini adalah pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggung jawab dan memperbaiki diri.

Menurut pemaparan Sofia, perlu ada indikator yang jelas mengenai iktikad baik yang dimaksud. Baginya, pelaku pada kasus apapun bisa saja bertindak seakan-akan merasa bersalah bahkan berbohong ketika dimintai keterangan. Ia turut menyayangkan tidak adanya ahli hukum dalam tim investigasi tersebut.

“Di Indonesia, proses mediasi atau konsep restorative justice untuk kasus perkosaan jarang digunakan karena kita belum siap. Lembaga-lembaga pemulihan untuk korban di sini belum bagus,” katanya.

Budi Wulandari selaku pendamping Agni dari Rifka Annisa juga menyayangkan pandangan beberapa pihak yang mulanya menilai ini bukan perkosaan. Perempuan yang kerap disapa Wulan itu menilai bahwa segala rangkaian yang dialami penyintas jelas merupakan perkosaan.

Wulan berpendapat bahwa pandangan yang kurang peka kepada penyintas membuat kasus Agni tidak diselesaikan secara serius sejak laporan pertama kali dilayangkan kepada pihak DPkM. Akibatnya, Agni harus melalui proses panjang untuk mengadvokasi dirinya sendiri.

“Kegigihannya membuat kami mau membantu dia mendapatkan hak-haknya. Terserahlah sanksinya apa yang penting ada sanksi yang tepat untuk pelaku,” jelas Wulan.

Definisi perkosaan yang dimaksud Wulan sesuai dengan yang dirilis oleh Komnas Perempuan. Dalam buklet “15 Bentuk Kekerasan Seksual” yang dirilis di laman mereka, perkosaan dapat diidentifikasi dengan adanya pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis, jari tangan, atau benda lainnya ke arah kemaluan, anus, atau pun mulut korban.

Tidak hanya itu, hingga berita ini diterbitkan (tiga bulan sejak Tim Investigasi menyampaikan rekomendasinya ke Rektor), penyintas mengaku belum dihubungi pihak Rektorat meski tim investigasi telah dibubarkan.