“Saya tidak takut mati suatu saat nanti, saya hanya takut ketika mati apa yang akan ditulis dalam sejarah. Makanya saya membangun ini dengan imajinasi dan cinta,” ucap Taha puitis lewat saluran telpon selulernya.

Dibekali impian ini, suatu saat  ketika berbaur dengan warga Negeri Sawai, Taha yang suka memanfatkan waktu luangnya dengan mencari ikan, menemukan sebuah lokasi yang tak jauh dari wilayah dua pulau yang berhadapan dengan negeri itu.

Di saat melewati lokasi tersebut, Taha mengaku terkagum –kagum dengan tempat tersebut.

“Saya melihat tempatnya cukup strategis, di lokasi ini ada sedikit palung, kemudian pemandagannya cukup asri. Latar belakngnya terlihat ada gunung batu. Dari situ saya mulai berpikir untuk berbuat sesuatu,” katanya.

Setelah pulang dari kegiatan mencari ikan itu, mantan Menager Nipon Suisan Indonesia (Nissui) Seram ini, kemudian memulai rencana membangun sebuah tempat tinggal yang dilengkapi keramba ikan di lokasi tersebut.  Dengan melibatkan warga setempat, Taha mempekerjaan warga untuk mencari kayu dan membuat kerangka keramba berbentuk love.

Tak tanggung-tanggung ukuran keramba itu pun dibangun dengan luas 50-50 meter. Kayu-kayu yang dibeli dari warga kemudian dijadikan pagar sesuai bentuk love  yang diinginkan.

“Jadi ada misi dalam pembuatan lokasi ini. Selain membantu ekonomi warga, saya juga memberikan edukasi kepada masyarakat nelayan tentang konservasi alam dengan melindungi semua yang ada disini,” bebernya.

Pagar keramba itu dibangun mengelilingi palung yang dilihatnya sejak awal. Setelah kerangka keramba selesai dibangun, pagarnya kemudian dilapisi waring (jala ikan).

Selanjutnya Taha membeli lagi anakan ikan hasil tangkapan nelayan yang masih hidup dan dilepaskan ke dalam keramba. Jumlahnya pun ada puluhan ribu ekor.

“Di dalam keramba ini sudah ada sekitar 15 ribu ikan bubara (kuwe). Jenis ini mendominasi isi keramba, sisanya diisi dengan ikan jenis lainnya berupa ikan dasar,” jelasnya.

Setelah keramba cinta terisi dengan ikan, pekerjaan selanjutnya, pagar keramba cinta yang dibangun dikuatkan lagi dengan susunan batu mengikuti bentuk keramba.

Bantu-batu itu pun dibawa oleh nelayan dan warga setempat. Satu demi satu susunan batu dibuat berupa tembok mengelilingi keramba, sehingga melindungi pagar kayu yang dibuat sebelumnya.

Indahnya panorama alam di lokasi keramba cinta

“Alhamdulillah, hasilnya seperti yang Anda lihat saat ini. Keramba cinta menjadi rumah saya saat ini. Saya membangun gubuk di sisi kanan keramba sebagai tempat tinggal,” terangnya.

Saat ditanya apakah, setiap orang yang berkunjung akan dipungut biaya? Atlit Karate dan pemilik sabuk hitam ini menjawabnya dengan tegas bahwa yang dibuat adalah rumah atau tempat tinggalnya. Kalaupun ada yang tertarik dan berkunjungi kesini karena dianggap sebagai tempat wisata, itu hanyalah efek yang ditimbulkan.

“Ini rumah saya. Setiap yang datang kesini adalah tamu. Masak tamu harus dipungut biaya?”jawabnya sambil melepas tawa.

Taha mengaku, selama ini setiap orang yang datang selalu disuguhi dengan makanan ikan bakar. Sambil menikmati keindahan alam di keramba cinta ini, secara gratis.

“Ikannya tinggal ambil dengan cara memancing di keramba, tapi syaratnya harus lebih dulu menaruh wajan di atas api. Sebelum wajan panas ikannya sudah ada. Inilah yang dibilang ikan dan udang menghampiri dirimu,” pungkasnya mengutip lirik lagu Koes Plus.

Dari hasil kerjanya selama setahun ini, Taha mengaku ‘keramba cinta’ yang menjadi rumahnya itu, sudah dikunjungi ratusan orang mulai dari para turis manca negara hingga para pejabat di daerah.

“Kapolda Maluku dan istrinya juga pernah kesini. Saya harap anda juga bisa kesini untuk menikmati semua yang tercipta karena cinta ini,” tutup Taha mengakhiri perjumpaan lewat salurannya telponnya (*)

Pewarta : Dhino Pattisahusiwa