Indikasi penyimpangan dalam jual beli lahan itu tidak mengikuti mekanisme Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebenarnya. Harga per meter tanah disiasati.  Manipulasi dilakukan oknum tertentu dengan menaikan harga secara sepihak.

Padahal sesuai NJOP lahan itu hanya seharga Rp.36.000 per meter kubik persegi. Indikasi anggarannya dimarkup atau didongkrak menjadi Rp.131.600 per meter. Bila proses transaksi antara Ferry Tanaya dan PT. PLN wilayah Maluku-Maluku Utara dilakukan merujuk NJOP sebenarnya, maka lahan yang wajib dibayar (pihak PLN) hanya senilai Rp1.751.238.000.

Ihwal ini sudah masuk temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Maluku.

Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah atau Sporadik ditandatangani Ferry Tanaya dengan status tanah seluas 48,645.50 meter persegi itu kabarnya tidak punya sertifikat. Bahkan lahan itu diklaim Ferry Tanaya hanya berdasarkan Erfak tahun 1938, sedangkan tanah berstatus Erfak, tidak bisa diperjual belikan.

Meski begitu, pihak PT PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara tetap membayar lahan dimaksud seharga Rp.6.4 miliar.

Sejumlah bukti yang sudah diperoleh tim penyidik, kiranya bisa menyingkap oknum lain yang diduga ikut kecipratan dana dari hasil jual beli lahan secara tidak wajar itu, dibongkar secara transparan ke publik.