Belum lagi tambang emas Gunung Botak dan Gogorea di Kabupaten Buru, jika nanti beroperasi atau dikelola pemerintah tentu juga membutuhkan pasokan listrik.

Namun PLTMG Namlea yang juga masuk pembiayaan investasi dengan jaminan pemerintah sama halnya dengan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU. PT. PLN (Persero) mendapat dana dari Lembaga Keuangan Bank Nasional melalui pinjaman kredit sindikasi senilai Rp7,91 triliun, pembangunannya belum kelar.

Aneh bin ajaib, belum sempat pembangunan pada 2016 lalu praktik korupsi sudah terjadi dalam proses pengadaan lahan untuk pembangunan proyek nasional itu. Bau korupsi menyengat. BPKP Maluku menemukan kerugian negara Rp.6 miliar lebih.

Terungkap ada penyelewengan dalam jual beli lahan seluas 48.645,50 meter persegi itu. Pada Oktober 2018 lalu, Kejaksaan Tinggi Maluku menerima laporan dari Mochamad Mukaddar, warga Kabupaten Buru yang juga mengaku sebagai pemilik lahan tersebut. Korps Adhyaksa Maluku lalu menangani kasus ini.

Satu per satu pihak terkait diperiksa jaksa. Antara lain; Ferry Tanaya (pihak yang mengklaim selaku pemilik lahan), Abdul Gani Laitupa, mantan Kepala Seksi pada BPN Namlea, PT.PLN UIP Maluku di Namlea, Pemilik lahan Mochamad Mukaddar, mantan Kepala Desa Namlea, Husen Wamnebo, dan mantan Camat Namlea, Karim Wamnebo.

Proses penyelidikan (2018) jaksa lakukan pengumpulan data dan bahan keterangan (puldata-pulbaket). Seterusnya pada 2019 kasus ini beranjak naik ke penyidikan. Tim penyidik lalu marathon lakukan proses penyidikan. Hasilnya, pada 2020 lalu dua orang ditetapkan sebagai tersangka.

Adalah Ferry Tanaya, pihak yang mengklaim selaku pemilik lahan/tanah tersebut, dan mantan Kepala Seksi di badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Buru, Abdul Gani Laitupa. Keduanya diduga terlibat konspirasi “main harga” dalam jual beli lahan seluas 48.645,50 hektar meter persegi itu.