Tuhuteru menilai, penetapan tersangka raja Negeri Rohomoni keliru dan terkesan dikriminalisasi hukum dengan mengabaikan fakta dari kebijakan yang diambil oleh raja Negeri Rohmoni untuk menormalisasi sungai, termasuk hukum adat masyarakat setempat.

Dia menerangkan, pada 2022 lalu terjadi musibah banjir, sehingga terjadi kerusakan alam yang mengakibatkan fasilitas jalan menjadi rusak dan terjadi pelebaran bentaran sungai di Negeri Rohomoni.

"Sehingga ada kebijakan dari raja adat kami, dengan menghibahkan alat berat (Eksavator) miliknya untuk menormalisasi sungai dan memperbaiki jalan yang rusak," terangnya.

Ia menambahkan, dampak dari kebijakan itu, pada 2024 terjadi hujan melanda wilayah kepulauan Maluku dan terjadi banjir di mana-mana.

"Alhamdulillah, di desa negeri Rohomoni tidak lagi terjadi banjir, akibat dari kebijakan yang diambil raja kami melakukan normalisasi sungai. Fakta inilah yang harus dilihat, bukan sebaliknya menetapkan raja kami sebagai tersangka," tambahnya.

Pihaknya menduga, ada tebang pilih dalam proses hukum yang dilakukan Polda Maluku. Karena, di tahun 2023, pengusaha atas nama Telinio, menemui Raja Rohomoni, meminta agar mengambil galian C di wilayah hukum adat negeri Rohomoni. Namun, tidak ditetapkan tersangka.

"Telenio juga merupakan pelaku utama dalam peristiwa hukum ini, tetapi sama sekali penyidik Polda Maluku tidak menjadikan beliau sebagai tersangka. Ada apa," ucapnya.

Halim bahkan menguraikan, alat berat digunakan Telenio untuk melakukan aktifitas pengambilan material di Negeri Rohomoni.

"Itu tidak disita atau dipolice line. Maka patut kita duga ada upaya kriminalisasi hukum yang dilakukan terhadap raja adat kami. Termasuk ada tebang pilih dalam melihat persoalan hukum yang terjadi. Tangkap dan proses hukum juga saudara Telenio," pungkasnya. (*)

Editor : Redaksi