Hal ini akan memunculkan efek jera bagi pelaku. Selain itu, juga menjadi tindakan preventif. Orang lain tidak akan berani untuk melakukan tindakan demikian, karena takut terjerat persoalan yang sama dengan sang inspektur.

Penegakan hukum yang sama juga saya harapkan dapat diambil oleh Bupati Kepulauan Aru. Pejabat jajarannya yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan mestinya dikenakan sanksi disiplin kepegawaian, paling tidak dilepaskan dari jabatan. Pada jabatan melekat tanggungjawab untuk melakukan pembinaan pada staf. Bagaimana mau membina stafnya, moralnya hancur ?

Kami memiliki catatan buruk tentang Bupati ataupun Sekda Kepulauan Aru. Berupa pemberian ijin bagi pejabat eselon II untuk menggugat cerai istrinya, tanpa terlebih dahulu menjalankan proses dan tahapan pembinaan, mediasi dan seterusnya sebagaimana diatur oleh Regulasi kepegawaian. Surat ijin mana kemudian menjadi titik awal kehancuran aspek psikologis perempuan (istri) dan anak-anak.

Sidang kode etik sempat digelar, namun hanya sampai pada agenda mendengarkan keterangan dari terlapor. Selanjutnya tidak jelas seperti apa proses itu berlanjut dan bagaimana hasilnya.

Berkali-kali dikontak utnuk mendapatkan penjelasan, tidak pernah direspon. Berbagai pihak seperti KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan, P2TP2A Provinsi Maluku turut menyikapi dan menyurati Bupati mempertanyakan hal itu, namun tidak digubris.

Publik Harus Cerdas

Kepala Daerah adalah produk perhelatan politik, dipilih oleh masyarakat di daerahnya. Fakta adanya Kepala Daerah yang minim keberpihakan bagi perlindungan perempuan dan anak mesti membuka mata publik untuk lebih jeli dan cerdas.

Masyarakat harus lebih cerdas, untuk tidak memilih Kepala Daerah yang tidak punya keberpihakan kepada perempuan korban kekerasan dan justru memelihara predator yakni pejabat pelaku kekerasan terhadap perempuan.

Keberpihakan ini pun mesti dikemas menjadi materi bargaining politik perempuan, baik dengan partai, maupun dengan calon yang diusung, pada semua perhelatan politik.

Dengan sendirinya akan terbangun mekanisme sanksi sosial yang menutup akses bagi keberadaan pejabat dengan perilaku tidak semena-mena terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk tindakan tidak bermoral dan tidak beretika (*)