Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Sadli Li menyebut penerbitan IPK menjadi kewajiban yang harus ditempuh pihaknya. Tak bisa dihindari, karena lewat IPK itu, hak negara (berupa pajak) dari hasil hutan yang ditebang bisa diperoleh.

Bagaimana bila IPK  tidak diterbitkan? Kata Sadli, itu artinya instansi yang dipimpinnya telah membiarkan hak negara melayang. Ditambah lagi IUP yang diterbitkan memang berada pada  Areal Pengguna Lainnya (APL) yang diperuntukan bagi kegiatan di luar Bidang Kehutanan dan bukan merupakan kawasan hutan.

APL juga disebut Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) atau areal yang berstatus hutan Negara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi menjadi bukan Kawasan Hutan.

Atas dasar ini, maka Dinas Kehutanan tidak punya hak menolak, selama proses tersebut  dilakukan di atas APL.

Cilakanya, pemberian IPK ini tidak disertai oleh pengawasan oleh OPD terkait di Pemkab SBT. Maka, perkebunan Pala yang menjadi dasar terbitnya IPK itu, seakan hanya akal-akalan dan menjadi modus yang dijalankan CV. SBM.   

Begitulah prosedur yang dilalui Yongki hingga bisa masuk ke hutan Sabuai dan melakukan penebangan hutan seluas  1.183 hektar, sesuai IUP Nomor 151/2018 yang diterbitkan Bupati SBT.

Yongki sudah benar melalui prosedur yang ditetapkan negara,  namun dia terlanjur serakah dan rakus. ‘Surat sakti’ (IPK) yang dikantongi malah disalahgunakan. Bukan hanya membabat hutan seluas 1.183 hektar. Yongki malah keluar jalur.

Alhasil, tim penyidik Balai Gakkum Maluku Papua yang turun ke lokasi penebangan, kemudian menemukan  IPK yang diterbitkan untuk Perkebunan Pala, tidak nampak. Anakan Pala gaib, tapi CV SBM malah terus menebas  hutan hingga   masuk ke hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 2 kilo meter.

Temuan inilah yang membuat kuasa Yongki di hutan Desa Sabuai menjadi tamat,  ditambah lagi perlawanan warga Desa Sabuai yang begitu nekat, karena merasa telah dibohongi sang cukong.