Oleh : Moh. Ridwan Litiloly, SP (Aktivis HMI Cabang Namlea)

SEBENTAR lagi kita akan merayakan momentum pergantian tahun, dari 2019 menuju 2020. Momentum ini acapkali dijadikan sebagai sebuah ritual untuk mengevaluasi dan memproyeksi segala aspek kehidupan yang terjadi satu atau beberapa tahun kebelakang, sehingga menjadi landasan untuk melakukan resolusi di tahun yang akan datang.

Ritual  tahun baru yang dijadikan momentum evaluasi dan proyeksi terhadap masa lalu kerap kali tidak hanya terjadi secara implisit terhadap pribadi masing-masing. Terkandang juga bisa terjadi keluar, baik terhadap lingkungan sekitar, orang terdekat bahkan sampai ketingkat kerja-kerja pemerintahan.

Pada 29 November 2019 kemarin Ombudsman RI menetapkan tiga kabupaten di Maluku, salah satunya adalah Kabupaten Buru yang masuk dalam zona merah dalam hasil penilaian tingkat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik.

Hal ini dikarenakan kurangnya konsistensi peningkatan kepatuhan dalam pemenuhan standar pelayanan publik setiap unit pelayanan yang wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan publik sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.

Selain itu, diakhir tahun 2019 banyak lagi permasalahan yang mendera pejabat birokrasi baik soal penetapan Sekda dalam dugaan kasus korupsi, disharmonisasi pimpinan Daerah, maupun ketersinggungan DPRD dan beberapa pimpinan OPD.  Masih banyak lagi persoalan yang menggerogoti tubuh pemerintahan yang sepatutnya menjadi catatan penting di akhir tahun 2019 ini.

Birokrasi sebagai alat negara, dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan cara memberikan pelayanan publik yang baik kepada warga negara. Olehnya itu, peran birokrasi sangatlah penting, mereka bekerja mengurus dan melayani masyarakat, sehingga kerja-kerja birokrasi menjadi suatu hal yang urgen dalam membangun pemerintahan yang baik.

Namun dalam perjalanan baik dari beberapa contoh kasus diatas dan masih banyak lagi, kita dapat melihat terjadi overlapping tugas dan fungsi pada beberapa level organisasi. Sebut saja, penggunaan anggaran belum sepenuhnya berorientasi pada hasil, standar kinerja dan monev kurang diperhatikan, dan proses rekruitmen dan pola pengembangan SDM belum menggambarkan kebutuhan.

Di sisi lain, reward dan punishment belum berjalan dengan baik, masih rendahnya tingkat akuntabilitas dan transparansi, belum adanya standar pelayanan publik yang berbasis teknologi serta sebagian besar pegawai tidak memahami visi dan misi organisasi Pemda.

Dapat disimpulkan hal ini terjadi dikarenakan kualitas sumber daya aparatur daerah masih bermasalah seperti soal netralitas, budaya red tape, dan kurang inovatif. Akibatnya kualitas pelayanan publik belum membaik signifikan.

Memasuki tahun 2020, Pemerintah Daerah harus memiliki keseriusan  dalam memperbaiki kembali birokrasi. Kemajuan daerah tak akan terwujud tanpa peningkatan kualitas birokrasi. Karena itu, SDM birokrasi Pemda harus dibenahi untuk mewujudkan ASN unggul yang profesional, kompeten dan beerintegritas.

Menurut Djohermansyah Djohan yang kerap disapa Prof Djo, Capaian birokrasi Pemda dewasa ini ditandai dengan remunerasi yakni diberikan kompensasi kepada pegawai atas imbalan jasa yang telah dikerjakan.

Biasanya diberikan dalam bentuk tunjangan kinerja. Namun reformasi birokrasi dalam bentuk remunerasi kurang berpengaruh signifikan terhadap out come Pemda. Seharusnya pemberian remunerasi tidak didasarkan pada penilaian administrasi semata, melainkan pada kepuasan publik. Konsepnya tidak sent, tapi delivered.

Selain itu, penerapan Digitalisasi Government System (DGS) belum maksimal. Website resmi Pemda Kabupaten Buru yang pernah ada, kini tidak produktif. Padahal untuk memudahkan masyarakat berurusan dengan pemda, dan guna menangkap globalisasi dan regionalisasi perlu penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik.

Penggunaan teknologi informasi oleh pemda untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, pelaku bisnis, serta hal lain yang berkenaan dengan efisiensi pemerintahan.

Memasuki tahun 2020 harus ada langkah kongkrit dan koperhensif dari kepala daerah. Seorang Bupati harus berani mengambil kebijakan perombakan dalam structural OPD. Pejabat birokrasi yang tidak berkompoten dalam menterjemahkan visi-misi pembangunan daerah harus berani dilepas tanpa pertimbangan apapun.

Apalagi soal kasus yang menyeret nama Sekda Kabupaten Buru di beberapa bulan terakhir. Seyogyanya Bupati segera melakukan pengusulan prgantian sehingga tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah dapat berjalan normal sebagaimana mestinya.

Hal ini tentunya merupakan ekpektasi yang mewakili sejumlah masyarakat yang menginginkan kualitas pelayanan birokrasi lebih diorientasikan kepada optimalisasi pelayanan publik dan upaya mempercepat kesejhatraan masyarakat (***)